Hak Waris Wanita Dalam Hindu
Hak Waris Wanita Dalam Hindu, Perubahan kehidupan yang semakin maju tidak membuat posisi wanita sama dengan pria. Bahkan juga di Bali, dalam mekanisme pewarisan, masih tetap ada diskriminasi. Ada penglihatan dalam masyarakat Hindu, terutamanya di Bali, yang memandang anak pria saja yang memiliki hak mewaris.
Tetapi bila jadi perhatian lebih jauh pasal-pasal hukum Hindu berkenaan peninggalan, rupanya masihlah ada ketetapan yang lain memungkinkannya anak wanita sebagai ahli waris. Dalam Manawa Dharmasastra IX. 127-139 dirinci jika anak wanita memiliki hak sebagai ahli waris, yakni :
1. Bila anak wanita itu diangkat statusnya ke status pria (putrika), anak itu akan memiliki hak sebagai ahli waris seperti anak pria. Ini berkaitan dengan upacara sraddha (pitra yajna). Upacara ini secara adat dilaksanakan oleh anak pria, tapi bila tidak ada anak pria dalam keluarga, peralihan status dari anak wanita ke status pria dipandang perlu dilaksanakan.
Jadi peralihan status ini bukan lantaran peninggalan. Demikian pula untuk melanjutkan turunan. Bila keluarga tidak memiliki turunan pria sebagai penerus, orang tuanya bisa mengubah status anak wanitanya. Ini otomatis memengaruhi wujud perkawinannya yakni patrional jadi matrional.
2. Anak wanita yang belum kawin harus dikasih peninggalan sebesar seperempat sisi pencapaian anak pria. Etika ini dirinci dalam Manawa Dharmasastra IX. 118, yang pada hakekatnya hal tersebut dipandang memberi posisi untuk anak wanita untuk mendapat haknya dengan cara tepat asal anak itu belum kawin saat pembagian peninggalan. Anak wanita yang telah kawin dipandang "keluar".
Karenanya ia tidak memiliki hak mendapat pencapaian itu, terkecuali harta pemberian yang dikasih ke ahli waris, baik saat sebelum kawin atau sebagai hadiah perkawinan; atau didapat dari saudara-saudaranya.
3. Ibu dan nenek (wanita) menjadi ahli waris. Dalam Manawa Dharmasastra IX. 217. yo. 257 disebut, wanita sebagai ahli waris, yaitu ibu sebagai pewaris; bila anaknya wafat tanpa turunan. Bila Sang ibu tidak ada (wafat) karena itu harta peninggalan akan diwarisi neneknya.
Karena itu bisa disebutkan, ada dua opini hukum dalam sektor pewarisan Hindu. Pertama, opini jika wanita tidak memiliki hak mewaris. Ke-2 , opini anak wanita memiliki hak mewaris seperti anak pria yang lain, cuman besaran pencapaiannya berbeda. Dalam Manu Smerti, bab IX. 105 disebutkan kekuasaan diberi orangtua ke anak pria paling tua sebagai substitusinya. Adik-adiknya harus runduk pada kakaknya itu seperti mereka runduk ke orang tuanya saat masih hidup.
Hal tersebut harus didefinisikan jika posisi anak paling tua sebagai alternatif orang tua; dia sebagai pemegang kuasa. Dalam hukum tradisi Bali ini disebutkan hukum mayorat (kebapaan).
Dalam bab IX. 104 dan 111 dirinci, untuk kebahagiaan karena itu harta benda harus dipisah. Kekuasaan bisa dikasih ke anak pria yang lain yang lebih muda. Bila karakter anak pertama itu menyangsikan, orangtua berkuasa tentukan ke siapa yang hendak mengurusi harta benda itu nantinya sesudah dia wafat.
Dalam hukum Hindu share peninggalan atau mungkin tidak, bergantung atas manfaatnya. Bila dengan share itu semakin lebih berguna untuk anggota yang memiliki hak, share itu akan lebih bagus dibanding tidak share . Maka azas mayorat tidak mutlak. Manu Smerti IX. 139, merinci azas parental terjadi dalam pembagian waris. Dirinci, anak cucu dari anak pria atau cucu dari anak wanita, tidak ada ketidaksamaan, karena cucu dari anak wanita itu juga akan selamatkan dianya seperti cucu dari anak pria.
Hukum Hindu dalam peninggalan tidak berpedoman azas manunggal, tetapi masih mungkin berlaku ke-2 azas kekerabatan itu. Tidak seluruhnya harta peninggalan dapat dipisah, karena dikenali beragam tipe harta yakni harta peninggalan yang jangan dipisah (harta pusaka yang berharga ekonomi atau mungkin tidak seperti tempat suci, beberapa benda keramat). Harta peninggalan yang bisa dipisah ialah harta peninggalan berbentuk dan harta peninggalan tidak berbentuk, yaitu semua harta peninggalan yang dibawa dalam perkawinan. dipertegas harta bapak yang diturunkan ke anak pria dan harta ibu diturunkan ke anak wanita. Pada harta bapak yang dibawa ke perkawinan, baik pusaka atau mungkin tidak, anak wanita memiliki hak mewariskannya saat dia masih gadis, bila terjadi pembagian waris, meskipun cuman seperempat sisi anak pria.
Tapi bila anak wanita kawin, pembagian itu berdasar suka-rela. Perlu dimengerti, perkawinan dalam Hindu tempatkan istri sebagai yang tidak dipisahkan dari suami. Itu memiliki arti apa yang diwarisi atau dipunyai suami ialah hak dan punya istri. Harta waris yang berperan sebagai penanggung beban, sepantasnya tidak diberi pada anak wanita yang kawin (bukan sentana rajeg).
Sejauh ini kerap orang salah memandang posisi wanita Bali. Biasanya posisi wanita Bali baik yang telah kawin atau belum, tidak nista dalam kekerabatan yang memiliki sifat kebapaan.