Dana Punia Prioritas Beragama di Zaman Kali
Tapah param kerta yuge
tretayam jnyanamucyate
dwapare yajnyawaewahur
danamekam kalau yuge
(Manawa Dharmasastra, I.85)
Maksudnya: Bertapa prioritas beragama zaman Kerta, prioritas beragama zaman Treta Yuga dalam jnyana, zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya, sedangkan prioritas beragama zaman Kali dengan dana punia.
ADA lima hal yang wajib dijadikan dasar pertimbangan untuk mengamalkan agama (dharma) agar sukses (Dharmasiddhiyartha). Hal itu dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10. Lima dasar pertimbangan itu adalah iksha, sakti, desa, kala dan tattwa. Iksha adalah pandangan hidup masyarakat setempat, sakti adalah kemampuan, desa adalah aturan rohani setempat, kala (waktu) dan tattwa (hakikat kebenaran Weda).
Kala sebagai salah satu hal yang wajib dipertimbangkan dalam mengamalkan agama Hindu agar sukses. Waktu dalam ajaran Hindu memiliki dimensi amat luas. Ada waktu dilihat dari konsep Tri Guna. Karena itu ada waktu satvika kala, rajasika kala dan tamasika kala. Ada waktu berdasarkan konsep Yuga -- Kerta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Keadaan zaman di tiap-tiap yuga itu berbeda-beda. Karena itu, cara beragama pun berbeda-beda pada setiap zaman.
Menurut Manawa Dharmasastra I.85 sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, prioritas beragama pun menjadi berbeda-beda pada setiap zaman. Pada zaman Kerta Yuga, kehidupan beragama diprioritaskan dengan cara bertapa. Pada Treta Yuga dengan memfokuskan pada jnyana. Pada zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya dan pada zaman Kali beragama dengan prioritas melakukan dana punia.
Melakukan dana punia diarahkan untuk membangun SDM yang berkualitas. Pustaka Slokantara Sloka 2 menyatakan, lebih utama nilainya mendidik seorang putra menjadi suputra daripada seratus kali upacara yadnya. Inilah idealisme ajaran Hindu yang semestinya dijadikan acuan pada zaman Kali Yuga dewasa ini.
Pada kenyataannya, umat Hindu di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya masih mengutamakan upacara yadnya sebagai prioritas beragama. Hal ini akan menimbulkan akibat yang kurang baik dalam kehidupan beragama. Dinamika umat dalam berbagai bidang kehidupan amat meningkat pesat. Kegiatan hidup yang semakin meningkat itu membutuhkan waktu, biaya, tenaga dan sarana lainnya. Amat berbeda dengan kehidupan pada zaman agraris tulen dimana umat umumnya lebih banyak di sawah ladang dan kebun untuk mencari nafkah.
Pada zaman industri ini, mobilitas umat makin tinggi dan kegiatan hidup makin beraneka ragam. Karena itu, amatlah tepat arahan Manawa Dharmasastra I.85 itu -- beragama yang lebih memprioritaskan kegiatan ber-dana punia. Ini bukan berarti upacara yadnya sebagai kegiatan beragama Hindu ditinggalkan. Upacara yadnya tetap berlangsung tetapi bukan merupakan prioritas. Justru upacara yadnya itu dilakukan dengan lebih menekankan aspek spiritualnya, bukan pada wajud ritualnya yang menekankan fisik material.
Apalagi bagi umat Hindu di Bali, ada sembilan tingkatan bentuk upacara yadnya yang pada dasarnya dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu upacara nista, madia dan utama. Nista, madia dan utama itu umumnya didasarkan pada wujud fisiknya upacara. Kalau besar dan banyak sarana yang digunakan disebut utama, kalau sedikit disebut madia, dan seterusnya. Yang kecil, menengah dan besar itu masing-masing dapat lagi dibagi menjadi tiga bagian. Dengan demikian, dari yang terkecil sampai terbesar dapat dibagi jadi sembilan.
Dalam melakukan berbagai kegiatan hidup, umat seyogianya menjadikan ajaran agama sebagai pegangan dalam menjaga keluhuran moral dan ketahanan mental. Dalam melakukan berbagai kegiatan hidup, sesungguhnya agama memegang peranan penting agar semuanya selalu berada pada jalan dharma. Substansi upacara yadnya adalah untuk membangun rasa dekat dengan Tuhan melalui bhakti, dekat dengan sesama manusia melalui punia atau pengabdian, dan merasa dekat dengan alam dengan jalan asih.
Mengapa disebut upacara yadnya? Kata "upacara" dalam bahasa Sansekerta berarti "dekat" dan yadnya berarti pengorbanan dengan ikhlas dalam wujud pengabdian. Karena itu, dalam kegiatan upacara yadnya ada "upacara" yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya pelayanan. Kita akan merasa dekat dengan Tuhan dengan sarana upakara sebagai sarana bhakti.
Penggunaan flora dan fauna sebagai sarana upacara menurut Menawa Dharmasastra V.40 sebagai media pemujaan agar flora dan fauna itu menjadi lebih lestari pada penjelmaan selanjutnya. Ini artinya, penggunaan flora dan fauna itu sebagai media untuk memotivasi umat untuk secara nyata (sekala) melestarikan keberadaan tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut. Jadi, upacara yadnya bukan sebagai media pembantaian flora dan fauna.
Pada zaman Kali ini, keberadaan flora dan fauna sudah semakin terancam eksistensinya. Karena itu amatlah tepat kalau bentuk fisik upacara itu diambil dalam wujud yang lebih sederhana (nista), sehingga pemakaian flora dan fauna itu tidak sampai mengganggu eksistensi sumber daya alam tersebut. Justru upacara yadnya itulah seyogianya dijadikan suatu momentum untuk melakukan upaya pelestarian flora dan fauna.
Dalam Sarasamuscaya 135 ada dinyatakan, untuk melakukan bhuta hita atau upaya mensejahtrakan semua makhluk (sarwa prani) ciptaan Tuhan ini. Kesejahtraan alam (bhuta hita) itulah sebagai dasar untuk mewujudkan empat tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha.
Ke depan, upacara yadnya hendaknya dimaknai lebih nyata dengan melakukan asih, punia dan bhakti. Asih pada alam lingkungan dengan terus menerus berusaha meningkatkan pelestarian keberadaan flora dan fauna, punia dengan melakukan pengabdian pada sesama manusia sesuai dengan swadharma masing-masing. Asih dan punia dilakukan sebagai wujud bhakti pada Tuhan. sumber I Ketut Wiana
tretayam jnyanamucyate
dwapare yajnyawaewahur
danamekam kalau yuge
(Manawa Dharmasastra, I.85)
Maksudnya: Bertapa prioritas beragama zaman Kerta, prioritas beragama zaman Treta Yuga dalam jnyana, zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya, sedangkan prioritas beragama zaman Kali dengan dana punia.
ADA lima hal yang wajib dijadikan dasar pertimbangan untuk mengamalkan agama (dharma) agar sukses (Dharmasiddhiyartha). Hal itu dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10. Lima dasar pertimbangan itu adalah iksha, sakti, desa, kala dan tattwa. Iksha adalah pandangan hidup masyarakat setempat, sakti adalah kemampuan, desa adalah aturan rohani setempat, kala (waktu) dan tattwa (hakikat kebenaran Weda).
Kala sebagai salah satu hal yang wajib dipertimbangkan dalam mengamalkan agama Hindu agar sukses. Waktu dalam ajaran Hindu memiliki dimensi amat luas. Ada waktu dilihat dari konsep Tri Guna. Karena itu ada waktu satvika kala, rajasika kala dan tamasika kala. Ada waktu berdasarkan konsep Yuga -- Kerta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Keadaan zaman di tiap-tiap yuga itu berbeda-beda. Karena itu, cara beragama pun berbeda-beda pada setiap zaman.
Menurut Manawa Dharmasastra I.85 sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, prioritas beragama pun menjadi berbeda-beda pada setiap zaman. Pada zaman Kerta Yuga, kehidupan beragama diprioritaskan dengan cara bertapa. Pada Treta Yuga dengan memfokuskan pada jnyana. Pada zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya dan pada zaman Kali beragama dengan prioritas melakukan dana punia.
Melakukan dana punia diarahkan untuk membangun SDM yang berkualitas. Pustaka Slokantara Sloka 2 menyatakan, lebih utama nilainya mendidik seorang putra menjadi suputra daripada seratus kali upacara yadnya. Inilah idealisme ajaran Hindu yang semestinya dijadikan acuan pada zaman Kali Yuga dewasa ini.
Pada kenyataannya, umat Hindu di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya masih mengutamakan upacara yadnya sebagai prioritas beragama. Hal ini akan menimbulkan akibat yang kurang baik dalam kehidupan beragama. Dinamika umat dalam berbagai bidang kehidupan amat meningkat pesat. Kegiatan hidup yang semakin meningkat itu membutuhkan waktu, biaya, tenaga dan sarana lainnya. Amat berbeda dengan kehidupan pada zaman agraris tulen dimana umat umumnya lebih banyak di sawah ladang dan kebun untuk mencari nafkah.
Pada zaman industri ini, mobilitas umat makin tinggi dan kegiatan hidup makin beraneka ragam. Karena itu, amatlah tepat arahan Manawa Dharmasastra I.85 itu -- beragama yang lebih memprioritaskan kegiatan ber-dana punia. Ini bukan berarti upacara yadnya sebagai kegiatan beragama Hindu ditinggalkan. Upacara yadnya tetap berlangsung tetapi bukan merupakan prioritas. Justru upacara yadnya itu dilakukan dengan lebih menekankan aspek spiritualnya, bukan pada wajud ritualnya yang menekankan fisik material.
Apalagi bagi umat Hindu di Bali, ada sembilan tingkatan bentuk upacara yadnya yang pada dasarnya dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu upacara nista, madia dan utama. Nista, madia dan utama itu umumnya didasarkan pada wujud fisiknya upacara. Kalau besar dan banyak sarana yang digunakan disebut utama, kalau sedikit disebut madia, dan seterusnya. Yang kecil, menengah dan besar itu masing-masing dapat lagi dibagi menjadi tiga bagian. Dengan demikian, dari yang terkecil sampai terbesar dapat dibagi jadi sembilan.
Dalam melakukan berbagai kegiatan hidup, umat seyogianya menjadikan ajaran agama sebagai pegangan dalam menjaga keluhuran moral dan ketahanan mental. Dalam melakukan berbagai kegiatan hidup, sesungguhnya agama memegang peranan penting agar semuanya selalu berada pada jalan dharma. Substansi upacara yadnya adalah untuk membangun rasa dekat dengan Tuhan melalui bhakti, dekat dengan sesama manusia melalui punia atau pengabdian, dan merasa dekat dengan alam dengan jalan asih.
Mengapa disebut upacara yadnya? Kata "upacara" dalam bahasa Sansekerta berarti "dekat" dan yadnya berarti pengorbanan dengan ikhlas dalam wujud pengabdian. Karena itu, dalam kegiatan upacara yadnya ada "upacara" yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya pelayanan. Kita akan merasa dekat dengan Tuhan dengan sarana upakara sebagai sarana bhakti.
Penggunaan flora dan fauna sebagai sarana upacara menurut Menawa Dharmasastra V.40 sebagai media pemujaan agar flora dan fauna itu menjadi lebih lestari pada penjelmaan selanjutnya. Ini artinya, penggunaan flora dan fauna itu sebagai media untuk memotivasi umat untuk secara nyata (sekala) melestarikan keberadaan tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut. Jadi, upacara yadnya bukan sebagai media pembantaian flora dan fauna.
Pada zaman Kali ini, keberadaan flora dan fauna sudah semakin terancam eksistensinya. Karena itu amatlah tepat kalau bentuk fisik upacara itu diambil dalam wujud yang lebih sederhana (nista), sehingga pemakaian flora dan fauna itu tidak sampai mengganggu eksistensi sumber daya alam tersebut. Justru upacara yadnya itulah seyogianya dijadikan suatu momentum untuk melakukan upaya pelestarian flora dan fauna.
Dalam Sarasamuscaya 135 ada dinyatakan, untuk melakukan bhuta hita atau upaya mensejahtrakan semua makhluk (sarwa prani) ciptaan Tuhan ini. Kesejahtraan alam (bhuta hita) itulah sebagai dasar untuk mewujudkan empat tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha.
Ke depan, upacara yadnya hendaknya dimaknai lebih nyata dengan melakukan asih, punia dan bhakti. Asih pada alam lingkungan dengan terus menerus berusaha meningkatkan pelestarian keberadaan flora dan fauna, punia dengan melakukan pengabdian pada sesama manusia sesuai dengan swadharma masing-masing. Asih dan punia dilakukan sebagai wujud bhakti pada Tuhan. sumber I Ketut Wiana