Renungan Pagerwesi Rabu 3 Maret 2010 Pagari Diri dengan Pengetahuan Spiritual
Hari ini Rabu Kliwon 3 Maret 2010 Wuku Sinta umat Hindu kembali merayakan hari Raya Pagerwesi. Hari raya siklus enam bulanan ini merupakan rangkaian perayaan Saraswati. Apa sesungguhnya hakikat Pagerwesi ?
PERAYAAN Pagerwesi masih rangkaian Saraswati. Diawali dengan perayaan Saraswati kemudian Banyupinaruh, Soma Ribek, Sabuh Mas dan Pagerwesi. Bahkan menurut dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar I Wayan Suka Yasa dan Wayan Budi Utama, perayaan rangkaian rerahinan itu juga mengandung konsep Catur Purusa Arthadharma, artha, kama dan moksha. Ketika ilmu pengetahuan diturunkan Sang Pencipta melalui simbol Dewi Saraswati, di sana terdapat konsep dharma. Selanjutnya, setelah ilmu pengetahuan dan keterampilan dikuasai kemudian digunakan untuk mencari artha. Konsep artha itu tercermin dalam perayaan Soma Ribek. Artha itu kemudian digunakan untuk memperoleh kesenangan (kama), tergambar dalam perayaan rerahinan Sabuh Mas. Sabuh Mas dikonotasikan serba gemerlap.
Nah, agar kita tidak larut begitu saja pada kebahagiaan jasmani (lahiriah) berupa artha dan kama, pada perayaan Pagerwesi-lah kita diingatkan agar memagari diri sekuat besi dengan pengetahuan spiritual agar mencapai kebahagiaan rohani (batiniah). Dengan demikian terjadi keseimbangan antara kebahagiaan jasmani dan rohani yakni mokshartam atau jiwanmukti. Dalam Pagerwesi inilah terkandung konsep moksha. Jadi, rangkaian rerahinan dari Saraswati hingga Pagerwesi juga sesungguhnya mengandung konsep Catur Purusa Artha, kata Suka Yasa yang dibenarkan Budi Utama.
Budi Utama menambahkan, Hindu sesungguhnya tidak alergi dengan artha dan kama, tetapi kita tidak boleh sampai terikat atau tergerus oleh keduanya. Untuk mencari keduanya mesti dilandasi dharma. Karena itu diperlukan pengendalian berupa kekuatan spiritual. Jika materi dianggap mengganggu, bentengi diri dengan spiritualitas sehingga mampu menghadapi problema kehidupan di dunia. Dengan demikian kita bisa mengendalikan hidup ini munuju arah kesempurnaan,'' ujarnya.
Paramesti Guru
Sementara itu guru besar Unhi Prof. Dr. IB Gunadha, M.Si. mengatakan dalam perayaan Pagerwesi ini umat memuja Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Siwa Mahaguru atau Hyang Paramestiguru--guru dari segala guru. Lewat bimbingan gurulah kita dapat mengusai pengetahuan dengan baik.
Kaweruhan atau ilmu pengetahuan yang telah diperoleh hendaknya dijadikan benteng yang kuat menghadapi tantangan hidup. Ilmu pengetahuan itu hendaknya dijadikan bekal untuk mencapai tujuan hidup yakni kesejahteraan dan ketenangan batin.
Dalam perayaan Pagerwesi inilah umat sejatinya diajarkan tentang kewaspadaan menghadapi berbagai tantangan. Dengan demikian kita penuh kesadaran. Saat kita menghadapi berbagai tantangan, kita sejatinya diajarkan menarik diri ke dalam yakni merenung. Dengan demikian kita dapat dengan jelas melihat persoalan sehingga mampu mencari solusi pemecahannya atau memperoleh jalan yang terang tetap berada di jalur kebenaran.
Dikatakannya, untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang diturunkan saat Saraswati, kita sesungguhnya memerlukan guru. Dalam hal ini peran guru sangatlah mulia. Saat Pagerwesilah umat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai mahaguru. ''Setelah umat mendapat ilmu pengetahuan, teori pengetahuan itu perlu dipraktikkan atau diimplementasikan. Dalam mengimplementasikan itu perlu guru pembimbing agar tidak disalahgunakan. (lun)
PERAYAAN Pagerwesi masih rangkaian Saraswati. Diawali dengan perayaan Saraswati kemudian Banyupinaruh, Soma Ribek, Sabuh Mas dan Pagerwesi. Bahkan menurut dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar I Wayan Suka Yasa dan Wayan Budi Utama, perayaan rangkaian rerahinan itu juga mengandung konsep Catur Purusa Arthadharma, artha, kama dan moksha. Ketika ilmu pengetahuan diturunkan Sang Pencipta melalui simbol Dewi Saraswati, di sana terdapat konsep dharma. Selanjutnya, setelah ilmu pengetahuan dan keterampilan dikuasai kemudian digunakan untuk mencari artha. Konsep artha itu tercermin dalam perayaan Soma Ribek. Artha itu kemudian digunakan untuk memperoleh kesenangan (kama), tergambar dalam perayaan rerahinan Sabuh Mas. Sabuh Mas dikonotasikan serba gemerlap.
Nah, agar kita tidak larut begitu saja pada kebahagiaan jasmani (lahiriah) berupa artha dan kama, pada perayaan Pagerwesi-lah kita diingatkan agar memagari diri sekuat besi dengan pengetahuan spiritual agar mencapai kebahagiaan rohani (batiniah). Dengan demikian terjadi keseimbangan antara kebahagiaan jasmani dan rohani yakni mokshartam atau jiwanmukti. Dalam Pagerwesi inilah terkandung konsep moksha. Jadi, rangkaian rerahinan dari Saraswati hingga Pagerwesi juga sesungguhnya mengandung konsep Catur Purusa Artha, kata Suka Yasa yang dibenarkan Budi Utama.
Budi Utama menambahkan, Hindu sesungguhnya tidak alergi dengan artha dan kama, tetapi kita tidak boleh sampai terikat atau tergerus oleh keduanya. Untuk mencari keduanya mesti dilandasi dharma. Karena itu diperlukan pengendalian berupa kekuatan spiritual. Jika materi dianggap mengganggu, bentengi diri dengan spiritualitas sehingga mampu menghadapi problema kehidupan di dunia. Dengan demikian kita bisa mengendalikan hidup ini munuju arah kesempurnaan,'' ujarnya.
Paramesti Guru
Sementara itu guru besar Unhi Prof. Dr. IB Gunadha, M.Si. mengatakan dalam perayaan Pagerwesi ini umat memuja Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Siwa Mahaguru atau Hyang Paramestiguru--guru dari segala guru. Lewat bimbingan gurulah kita dapat mengusai pengetahuan dengan baik.
Kaweruhan atau ilmu pengetahuan yang telah diperoleh hendaknya dijadikan benteng yang kuat menghadapi tantangan hidup. Ilmu pengetahuan itu hendaknya dijadikan bekal untuk mencapai tujuan hidup yakni kesejahteraan dan ketenangan batin.
Dalam perayaan Pagerwesi inilah umat sejatinya diajarkan tentang kewaspadaan menghadapi berbagai tantangan. Dengan demikian kita penuh kesadaran. Saat kita menghadapi berbagai tantangan, kita sejatinya diajarkan menarik diri ke dalam yakni merenung. Dengan demikian kita dapat dengan jelas melihat persoalan sehingga mampu mencari solusi pemecahannya atau memperoleh jalan yang terang tetap berada di jalur kebenaran.
Dikatakannya, untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang diturunkan saat Saraswati, kita sesungguhnya memerlukan guru. Dalam hal ini peran guru sangatlah mulia. Saat Pagerwesilah umat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai mahaguru. ''Setelah umat mendapat ilmu pengetahuan, teori pengetahuan itu perlu dipraktikkan atau diimplementasikan. Dalam mengimplementasikan itu perlu guru pembimbing agar tidak disalahgunakan. (lun)