Mengatasi Penderitaan dengan Jnana Bala
Prajnya yaa maanasam duhkham hanyaacchariramausadhaih
Etaddhi jnyana samarthayam na balaih samaatamiyaat. (Sarasamuscaya 501)
Maksudnya: pikiran yang penuh dengan ilmu kebijaksanaan (Prajnya) sebagai sarana yang paling andal untuk mengatasi penderitaan, sebaliknya tumbuh-tumbuhan bahan obat-obatan untuk mengatasi sakitnya badan. Ilmu kebijaksanaan itu disebut Jnyana Bala kekuatannya lebih utama dari Kaya Bala yaitu kekuatan badan jasmani.
Manusia memiliki badan jasmani dan badan rohani sebagai jiwa. Perpaduan dua hal itulah menjadi pendukung berlangsungnya kehidupan manusia di bumi ini mencari kebahagiaan. Hasil penemuan iptek sudah demikian banyak memberikan berbagai kemudahan pada umat manusia memenuhi keinginannya. Dalam kenyataannya masih saja banyak umat manusia yang merasakan adanya berbagai penderitaan hidup di bumi ini.
Pada hakekatnya ada dua sumber penderitaan. Ada penderitaan struktural dan ada penderitaan kultural. Kebijaksanaan untuk publik oleh yang berwewenang yang menimbulkan penderitaan, itu dapat disebut penderitaan struktural. Idealnya kebijakan untuk publik itu demi kebaikan dan kebahagiaan semua orang. Namun demikian ada saja yang tercecer tak tersentuh dan tidak menikmati kebaikan dan kebahagiaan dari kebijakan untuk publik itu. Penderitaan kultural adalah penderitaan yang disebabkan oleh sikap budaya individu masing-masing.
Mereka yang tertimpa penderitaan struktural itu kalau tidak memiliki kemam puan yang prima mengelola diri dapat menderita kekecewaan dan kedukaan yang mendalam. Penderitaan kultural juga demikian dapat menimbulkan tindakan merusak orang lain atau merusak diri sendiri seperti bunuh diri dan sejenisnya. Rasa kecewa dan duka mendalam dengan kebijakan publik kalau kurang waspada dapat ditunggangi oleh kepentingan politik sempit memunculkan keonaran yang dapat merugikan berbagai pihak. Hendaknya dihindari penggunaan kekuatan fisik yang di gerakan oleh luapan emosi yang meledak-ledak sebagai cara mengatasi ketidak puasan itu.
Hal itu dapat merusak tatanan dan norma yang sudah baik. Untuk itu diperlukan peran serius para ilmuwan yang bijak untuk senantiasa bekerja terpadu menggunakan visi dan misinya sebagai ilmuwan mengatasi berbagai persoalan hidup bersama ini. Berbagai ketidakpuasan dan kekecewaan publik seyogianya diatasi dengan Jnyana Bala yaitu kekuatan para ilmuwan yang bekerja terpadu. Hal itulah yang dinyatakan dalam Sarasamuscaya 501 sebagai Jnyana Bala yang lebih utama dari pada mengatasi berbagai kedukaan dengan kekuatan badan jasmani yang disebut Kaya Bala. Apa lagi Kaya Bala itu lebih digerakkan oleh rasa kecewa dan ketidakpuasan belaka tanpa analisa Jnyana Bala. Kekuatan badan jasmani yang disebut Kaya Bala itu akan positif apa bila ditata untuk membangun fisik yang sehat, segar dan bugar dalam rangka mendukung Jnyana Bala mengekspresikan kearipan ilmu pengetahuan mencerahkan masyarakat.
Dewasa ini ilmuwan sudah sedemikian banyak bertebaran dimana-mana, tetapi berbagai persoalan yang membuat penderitaan publik masih saja terjadi bahkan ada yang kuantitas dan kualitasnya terus meningkat. Para ilmuwan di samping jumlahnya semakin meningkat jenis keakhliannyapun juga semakin banyak. Dalam Kekawin Nitisastra,IV.19 ada menyatakan adanya tujuh hal yang menyebabkan orang mabuk yaitu: Surupa, Dhana, Guna, Kula Kulina, Yowana, Sura dan Kasuran.
Barang siapa yang tidak mabuk karena tujuh hal itu dialah orang yang disebut merdeka (mahardika). Ini artinya tujuh hal itu wajib dicari yang penting jangan mabuk pada ke tujuh hal itu. Salah satu dari tujuh hal itu adalah guna atau ilmu pengetahuan. Mengapa para ilmuwan belum berhasil bekerja terpadu secara maksimal. Mungkin masih banyak ilmuwan yang mabuk atau kehilangan diri karena ilmunya itu. Kalau masih banyak ada ilmuwan mabuk tentunya sulit kerja terpadu mengatasi berbagai prilaku dan kebiasaan hidup yang menyimpang dalam masyarakat. Ilmuwan yang demikian itu ilmunya menjadi mubazir.
Dalam Canakya Nitisastra ada dinyatakan sbb: Anabhyase visam sastram. Artinya ilmu pengetahuan yang tidak diterapkan memperbaiki prilaku dan kebiasaan hidup akan menjadi racun (visa). Negara hendaknya menetapkan kebijakan yang memposisikan fungsi ilmuwan untuk senantiasa bekerja saling terpadu memecahkan berbagai persoalan hidup di bumi ini. Dengan demikian kehidupan bersama di bumi ini menjadi semakin maningkat kearah yang semakin baik dan benar. Dalam Canakya Nitisaastra XII.11 dinyatakan: Satyam mata pita jnyanam. Artinya kebenaran (satya) adalah ibuku, ilmu pengetahuan yang disebut jnyana itu adalah ayahku. Selanjutnya Canakya Nitisastra XVII.12 ada menyatakan sbb: Jnyanena muktir na tu mandenena. Artinya: Pembebasan dari kesengsaraan hidup ini diperoleh dengan ilmu pengetahuan suci (jnyana) bukan dengan menghias badan. Canakya Nitisastra IV.5. menyatakan sbb: Ilmu pengetahuan ibarat kama-dhenu, setiap saat dapat memenuhi segala keinginan. Pada saat orang berada di negara lain ilmu pengetahuan bagaikan seorang ibu yang selalu memelihara kita. Orang bijaksana mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah kekayaan yang rahasia, harta tak kelihatan.
Pernyataan Canakya Nitisastra tersebut demikian jelas dan tegas menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan yang disebut jnyana demikian utama sebagai teman hidup. Kalau hal itu menjadi kenyataan dalam masyarakat maka masyarakat akan terbebas dari berbagai penderitaan. Namun sampai saat ini masih banyak prilaku dan kebiasaan hidup yang belum sesuai dengan ilmu pengetahuan. Contoh sederhana saja. Masih banyak masyarakat yang memasak makanan dengan bungkusan plastik, Plastik yang dimasak itu menimbulkan zat berbahaya bagi kesehatan. Minum teh secara langsung setelah makan nasi. Hal ini akan menghalangi tubuh menyerap zat besi, protein dan vitamin kedalam tubuh.
Tetapi kalau minum teh setelah empat jam makan nasi maka teh itu berguna untuk menurunkan lemak negatif dalam makanan. Membuang limbah sabun detergen ke tanah dapat merusak humus tanah tsb. Sesungguhnya banyak sekali kebiasaan hidup kita yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Apalagi menyangkut soal ritual, kemanusiaan dan spiritual banyak sekali yang tidak sesuai dengan apa yang dinormakan dalam ilmu dalam pustaka acuannya. Gandi menyatakan: Ilmu tanpa kemanusiaan menimbulkan dosa sosial.Oleh I Ketut Wiana
Etaddhi jnyana samarthayam na balaih samaatamiyaat. (Sarasamuscaya 501)
Maksudnya: pikiran yang penuh dengan ilmu kebijaksanaan (Prajnya) sebagai sarana yang paling andal untuk mengatasi penderitaan, sebaliknya tumbuh-tumbuhan bahan obat-obatan untuk mengatasi sakitnya badan. Ilmu kebijaksanaan itu disebut Jnyana Bala kekuatannya lebih utama dari Kaya Bala yaitu kekuatan badan jasmani.
Manusia memiliki badan jasmani dan badan rohani sebagai jiwa. Perpaduan dua hal itulah menjadi pendukung berlangsungnya kehidupan manusia di bumi ini mencari kebahagiaan. Hasil penemuan iptek sudah demikian banyak memberikan berbagai kemudahan pada umat manusia memenuhi keinginannya. Dalam kenyataannya masih saja banyak umat manusia yang merasakan adanya berbagai penderitaan hidup di bumi ini.
Pada hakekatnya ada dua sumber penderitaan. Ada penderitaan struktural dan ada penderitaan kultural. Kebijaksanaan untuk publik oleh yang berwewenang yang menimbulkan penderitaan, itu dapat disebut penderitaan struktural. Idealnya kebijakan untuk publik itu demi kebaikan dan kebahagiaan semua orang. Namun demikian ada saja yang tercecer tak tersentuh dan tidak menikmati kebaikan dan kebahagiaan dari kebijakan untuk publik itu. Penderitaan kultural adalah penderitaan yang disebabkan oleh sikap budaya individu masing-masing.
Mereka yang tertimpa penderitaan struktural itu kalau tidak memiliki kemam puan yang prima mengelola diri dapat menderita kekecewaan dan kedukaan yang mendalam. Penderitaan kultural juga demikian dapat menimbulkan tindakan merusak orang lain atau merusak diri sendiri seperti bunuh diri dan sejenisnya. Rasa kecewa dan duka mendalam dengan kebijakan publik kalau kurang waspada dapat ditunggangi oleh kepentingan politik sempit memunculkan keonaran yang dapat merugikan berbagai pihak. Hendaknya dihindari penggunaan kekuatan fisik yang di gerakan oleh luapan emosi yang meledak-ledak sebagai cara mengatasi ketidak puasan itu.
Hal itu dapat merusak tatanan dan norma yang sudah baik. Untuk itu diperlukan peran serius para ilmuwan yang bijak untuk senantiasa bekerja terpadu menggunakan visi dan misinya sebagai ilmuwan mengatasi berbagai persoalan hidup bersama ini. Berbagai ketidakpuasan dan kekecewaan publik seyogianya diatasi dengan Jnyana Bala yaitu kekuatan para ilmuwan yang bekerja terpadu. Hal itulah yang dinyatakan dalam Sarasamuscaya 501 sebagai Jnyana Bala yang lebih utama dari pada mengatasi berbagai kedukaan dengan kekuatan badan jasmani yang disebut Kaya Bala. Apa lagi Kaya Bala itu lebih digerakkan oleh rasa kecewa dan ketidakpuasan belaka tanpa analisa Jnyana Bala. Kekuatan badan jasmani yang disebut Kaya Bala itu akan positif apa bila ditata untuk membangun fisik yang sehat, segar dan bugar dalam rangka mendukung Jnyana Bala mengekspresikan kearipan ilmu pengetahuan mencerahkan masyarakat.
Dewasa ini ilmuwan sudah sedemikian banyak bertebaran dimana-mana, tetapi berbagai persoalan yang membuat penderitaan publik masih saja terjadi bahkan ada yang kuantitas dan kualitasnya terus meningkat. Para ilmuwan di samping jumlahnya semakin meningkat jenis keakhliannyapun juga semakin banyak. Dalam Kekawin Nitisastra,IV.19 ada menyatakan adanya tujuh hal yang menyebabkan orang mabuk yaitu: Surupa, Dhana, Guna, Kula Kulina, Yowana, Sura dan Kasuran.
Barang siapa yang tidak mabuk karena tujuh hal itu dialah orang yang disebut merdeka (mahardika). Ini artinya tujuh hal itu wajib dicari yang penting jangan mabuk pada ke tujuh hal itu. Salah satu dari tujuh hal itu adalah guna atau ilmu pengetahuan. Mengapa para ilmuwan belum berhasil bekerja terpadu secara maksimal. Mungkin masih banyak ilmuwan yang mabuk atau kehilangan diri karena ilmunya itu. Kalau masih banyak ada ilmuwan mabuk tentunya sulit kerja terpadu mengatasi berbagai prilaku dan kebiasaan hidup yang menyimpang dalam masyarakat. Ilmuwan yang demikian itu ilmunya menjadi mubazir.
Dalam Canakya Nitisastra ada dinyatakan sbb: Anabhyase visam sastram. Artinya ilmu pengetahuan yang tidak diterapkan memperbaiki prilaku dan kebiasaan hidup akan menjadi racun (visa). Negara hendaknya menetapkan kebijakan yang memposisikan fungsi ilmuwan untuk senantiasa bekerja saling terpadu memecahkan berbagai persoalan hidup di bumi ini. Dengan demikian kehidupan bersama di bumi ini menjadi semakin maningkat kearah yang semakin baik dan benar. Dalam Canakya Nitisaastra XII.11 dinyatakan: Satyam mata pita jnyanam. Artinya kebenaran (satya) adalah ibuku, ilmu pengetahuan yang disebut jnyana itu adalah ayahku. Selanjutnya Canakya Nitisastra XVII.12 ada menyatakan sbb: Jnyanena muktir na tu mandenena. Artinya: Pembebasan dari kesengsaraan hidup ini diperoleh dengan ilmu pengetahuan suci (jnyana) bukan dengan menghias badan. Canakya Nitisastra IV.5. menyatakan sbb: Ilmu pengetahuan ibarat kama-dhenu, setiap saat dapat memenuhi segala keinginan. Pada saat orang berada di negara lain ilmu pengetahuan bagaikan seorang ibu yang selalu memelihara kita. Orang bijaksana mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah kekayaan yang rahasia, harta tak kelihatan.
Pernyataan Canakya Nitisastra tersebut demikian jelas dan tegas menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan yang disebut jnyana demikian utama sebagai teman hidup. Kalau hal itu menjadi kenyataan dalam masyarakat maka masyarakat akan terbebas dari berbagai penderitaan. Namun sampai saat ini masih banyak prilaku dan kebiasaan hidup yang belum sesuai dengan ilmu pengetahuan. Contoh sederhana saja. Masih banyak masyarakat yang memasak makanan dengan bungkusan plastik, Plastik yang dimasak itu menimbulkan zat berbahaya bagi kesehatan. Minum teh secara langsung setelah makan nasi. Hal ini akan menghalangi tubuh menyerap zat besi, protein dan vitamin kedalam tubuh.
Tetapi kalau minum teh setelah empat jam makan nasi maka teh itu berguna untuk menurunkan lemak negatif dalam makanan. Membuang limbah sabun detergen ke tanah dapat merusak humus tanah tsb. Sesungguhnya banyak sekali kebiasaan hidup kita yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Apalagi menyangkut soal ritual, kemanusiaan dan spiritual banyak sekali yang tidak sesuai dengan apa yang dinormakan dalam ilmu dalam pustaka acuannya. Gandi menyatakan: Ilmu tanpa kemanusiaan menimbulkan dosa sosial.Oleh I Ketut Wiana