Notifikasi

Memuat…

Menyuap - Berjudi - Menipu Wajib Dihukum

Utkocakaascanpadhikaa

wancakah kitawastatha

manggalaadesa wrttasca

bhadraasceksanikaih saha. (Manawa Dharmasastra,IX,258)


Maksudnya adalah sebagai kejahatan mereka yang menerima suap, menipu, penjudi, mengajarkan upacara suci dengan munafik dan berpura-pura.

Berbuat yang bertentangan dengan dharma seperti menerima suap, menipu, berjudi apalagi mengajarkan upacara suci dengan munafik dan berpura-pura seperti dinyatakan dalam kutipan di atas tergolong kejahatan.

Dalam Manawa Dharmasastra IX.263 kejahatan itu amat sulit dikendalikan kecuali dikenakan hukuman yang keras tetapi tetap adil. Perilaku yang dinyatakan sebagai kejahatan yang sulit dikendalikan itu termasuk mengajarkan upacara suci tetapi munafik dan berpura-pura.

Perilaku yang demikian adalah suatu kejahatan. Perbuatan yang bertentangan dengan dharma itu umumnya menurut anggapan umum sepertinya bukan suatu kejahatan. Penjual barang yang palsu, memberikan uang oknum birokrat saat rakyat berurusan, berjudi dan lainnya itu banyak pihak yang merasakan tidak suatu tindakan kejahatan. Yang paling dirasakan bukan sebagai kejahatan adalah mengajarkan upacara agama yang suci itu dengan cara munafik dan berpura-pura.

Melangsungkan upacara yadnya memang wajib dicermati dengan seksama, karena itu tergolong persembahan.

Dalam Manawa Dharmasastra III.97 ada dinyatakan bahwa persembahan yang dilakukan oleh orang yang tidak paham akan peraturannya adalah sia-sia. Ini artinya kalau ada umat yg tidak tahu akan suatu arti dan makna suatu persembahan dapat dituntun oleh mereka yang tahu dengan baik. Kalau menuntun umat melangsungkan upacara yadnya dengan baik dan benar tentunya akan memberikan pahala mulia. Dalam hal inilah kalau penuntun itu munafik pura-pura paham tentang persembahan yang baik, tetapi sesungguhnya mereka tidak paham. Perilaku inilah sebagai kejahatan.

Dewasa ini semakin banyak umat Hindu di Bali mengeluhkan besarnya biaya upacara yadnya. Mereka sulit sekali menghindar karena mereka tidak paham mengapa biayanya begitu besar. Tentunya dalam hal ini tidak mudah membuktikan adanya kemunafikan dan prilaku berpura-pura itu secara sekala. Kalau ada kemunafikan dan keberpura-puraan yang sulit dibuktikan secara sekala, tetapi akan berakibat pada upacara tersebut secara niskala. Upacara persembahan itu akan sia-sia tak memberi manfaat spiritual bahkan dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra III.97 itu tidak ada bedanya dengan abu belaka. Untuk menanggapi keluhan sementara pihak tentang besarnya biaya upacara yadnya, perlu direnungkan kembali prioritas beragama yang dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra I.86 yang menyatakan prirotas beragama zaman Kali ini adalah dana punia bukan upacara yadnya.

Apalagi upacara yadnya yang boros waktu, tenaga, dana maupun boros flora fauna sebagai bahan upakaranya. Kalau dana punia itu diarahkan pada pendidikan membangun suputra amatlah mulia. Karena Slokantara 2 menyatakan mendidik seorang suputra jauh lebih mulia dari seratus kali upacara yadnya.

Dalam kehidupan beragama Hindu dalam tradisi Bali bejudi saat ada upacara yadnya seperti sudah demikian mentradisi. Padahal menurut berbagai ketentuan susastra Hindu berjudi itu amat dilarang bahkan dinyatakan sebagai suatu kejahatan Apa latar belakang pada zaman dahulu setiap ada upacara yadnya umumnya ada judian. Apa mungkin berjudi saat upacara yadnya di areal jaba tengah Pura sebagai suatu metode untuk menuntun umat agar meninggalkan kebiasaan berjudi itu hilang atas panggilan nuraninya sendiri. Dengan adanya bandingan kegiatan rohani di Pura dan judi di jaba tengah atau jaba sisi. Dengan demikian umat dengan suka rela meninggalkan judi setelah terpanggil oleh kegiatan rohani di jeroan Pura. Tetapi kenyataan dewasa ini sudah tidak sesuai, karena nyatanya berjudi itu terus dilangsungkan dan tidak begitu surut. Untuk tidak mengotori kegiatan upacara yadnya di Pura sebaiknya judi dalam segala bentuknya ditiadakan. Demikian juga kebiasaan menipu sepertinya saat berkembangnya industrialisasi dalam berbagai aspek kehidupan mereka yang memiliki niat nipu sepertinya mendapat peluang empuk. Mereka menipu dengan menggunakan perkembangan industrialisasi .Ada yang menipu masyarakat dengan menjual makanan yang diisi zat kimia berbahaya. Hal itu dilakukan demi keuntungan yang berlipat lipat. Ada juga yang menipu dengan mempermainkan timbangan suatu barang dagangan demi keuntungan. Penipuan juga dilakukan dengan menipu kemasan barang dagangan. Barang dagangan dengan kemasan yang antara label luar dan isi dalamnya tidak sesuai. Inipun menipu pembeli demi keuntungan pribadi. Ada sayuran yang kelihatannya hijau mulus karena disemprot pembasmi hama berisi lem prekat. Dengan lem itu pembasmi hama itu akan tetap lengket di sayur meskipun sudah dicuci.

Ada sementara oknum birokrat akan berkerja cepat kalau sudah menerima suap. Oknum yang bertugas dalam suatu birokrasi sudah mendapat gaji sebagaimana mestinya. Kalaupun ada suatu biaya yang harus dipungut dari masyarakat yang berurusan itupun sudah ada ketentuan oleh institusi birokrasi bersangkutan.Tugas oknum yang berada di birokrasi tersebut adalah melayani masyarakat yang berurusan dengan birokrasi di institusi bersangkutan. Tidak banyak oknum yang bertugas di birokrasi itu yang memiliki komitmen sebagai pelayan masyarakat. Yang sering terjadi adalah masih banyak oknum birokrat yang mau bekerja kalau sudah diberi suap oleh masyarakat yang berurusan. Secara ekonomi masyarakat mendapat beban ekonomi dan juga ada beban psikologis.

Kalau tidak punya koneksi pribadi di jajaran birokrasi mereka sulit mendapat pelayanan prima kalau tidak mau memberi suap pada oknum birokrat. Dengan tradisi suap baru mendapat pelayanan, hal ini menimbulkan beban ekonomi dan beban psikologis. Sebagai contoh dalam proses mensertifikatkan tanah warisan benar-benar amat sulit dalam pratiknya. Penerima suap seperti inilah yang harus dihukum berat oleh negara.
Baca Juga
Posting Komentar