Hindu Indonesia
Hindu Indonesia
Agama Hindu bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa / Hyang Widhi yang turun di India sekitar 2500 tahun BC. Wahyu-wahyu itu merupakan pengetahuan suci yang diterima oleh orang-orang suci atau Rsi-Rsi dalam keadaan semadhi, kemudian dihimpun oleh beberapa Maharsi antara lain Maharsi Wyasa yang mengumpulkannya menjadi Catur Weda berasal dari akar kata wid yang artinya tahu. Dari akar kata wid ini menjadi kata Weda yang berarti pengetahuan suci. Juga dari akar kata wid menjadi kata Widhi artinya yang memberi/sumber pengetahuan suci itu. Dari akar kata wid ini juga, menjadi kata widya yang artinya kesadaran atau ilmu pengetahuan dan kebalikan dari widya adalah awidya yang artinya ketidaksadaran/kegelapan (ignorance).
Dengan turunnya Weda di India, maka timbullah suatu periode sejarah yang disebut zaman Weda. Pada zaman ini berkembanglah suatu corak kebudayaan baru di India yang mengambil sumber pada Weda dan meliputi beberapa aspek kehidupan yang disebut dengan suatu istilah Hinduisme sebagaimana disebutkan di dalam Arya Warta.
Dalam perkembangan lebih lanjut pada Zaman Upanisad dimana bermunculan filsafat-filsafat di India, maka muncullah aliran-aliran yang disebut paksa atau sekte dalam agama Hindu, anatara lain sekte Saiwa, sekte Waisnawa, sekte Brahma, sekte Tantrayana dan lain-lain. Sekte Saiwa memuja Dewa Siwa sebagai suatu tokoh yang paling utama, sekta Waisnawa memuja Dewa Wisnu sebagai satu-satunya Tokoh yang paling utama, sekta Brahma mentokohkan Dewa Brahma dalam pemujaannya dan sekte Tantrayana memusatkan pemujaannya kepada Dewi Durga. Tiga dewa : Brahma, Wisnu dan Siwa dipuja secara horizontal, sebagai Dewa Tri Murti manifestasi dari Hyang Widhi.
Disamping agama Hindu, bahwa di India pada abad ke 5 BC muncullah agama Buddha yang menekankan ajarannya kepada masalah etika dan hukum karma. Agama Buddha juga mengajarkan berbagai aturan hidup masyarakat dan menimbulkan suatu paham yang disebut Buddhisme. Agama Buddha dibagi menjadi dua kelompok besar yang disebut Mahayana dan Hinayana. Dari masing-masing kelompok ini terbagi lagi menjadi beberapa mazab (aliran).
Pengertian Hinduisme di India, tidaklah mencakup Buddhisme dan kedua isme itu berdiri sendiri menempuh jalan sendiri dalam proses perkembangannya masing-masing. Tetapi pengertian Hinduisme di Indonesia mencakup pula Buddhisme Mahayana atau dengan kata lain Hinduisme di Indonesia mencakup semua paham yang berasal dari India yang masuk ke Indonesia pada abad permulaan tarikh Masehi yang didukung oleh budaya lokal di Indonesia.
Proses Perkembangan Hindu di Indonesia
Pengaruh Hindu datang di Indonesia diperkirakan pada permulaan tarikh Masehi. Proses kedatangannya berlangsung secara damai dan bertahap-tahap. Kontak pendahuluan melalui media perdagangan yang dilakukan oleh pedagang India dengan para pedagang Indonesia (ada beberapa teori mengenai ini). Bukti-bukti ke Hinduan yang tertua di Indonesia diberikan persaksian oleh batu bertulis (Yupa) yang terdapat di Kutai Kalimantan Timur, memakai huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Berdasarkan huruf Pallawa yang dipakai dalam Yupa tersebut, ditarik kesimpulan bahwa pengaruh Hindu yang masuk ke Indonesia, diperkirakan pada abad ke 4 Masehi, berasal dari daerah Koromandel di India Selatan. Dari segi keagamaan, keterangan yang tertulis pada Yupa itu menunjukkan corak Siwais, dinyatakan dalam kata Vaprakesvara yang berarti suatu tempat suci yang berhubungan dengan pemujaan terhadap Iswara yaitu nama lain dari Dewa Siwa. Diperkirakan sekitar 5 Masehi, muncullah ke Hinduan di Jawa Barat, ditandai dengan ditemukan 7 buah prasasti batu. dari segi keagamaan terdapat berbagai spekulasi mengenai agama yang dianut oleh kerajaan Tarumanegara. Ada bukti kuat yang menduga bahwa raja Pumawarman memuja Dewa Wisnu. Ada pula pendapat lain yang mengatakan raja Pumawarman memuja Siwa dan ada juga yang berpendapat bahwa ia menganut paham Brahmanical Religion.
Bukti-bukti masuknya agama Hindu di Jawa Tengah diberikan persaksian oleh prasasti batu Tuk Mas di desa Dakawu yang menyebutkan pujian terhadap kesucian sungai Gangga disertai gambar-gambar atribut Dewa Tri Murti, yaitu : Kendi (amrta-Brahma), Gadha (Wisnu) dan Trisula (Siwa) yang diperkirakan dibuat pada tahun 650 Masehi.
Pada zaman yang berikutnya, prasasti Canggal di gunung Wukir Jawa Tengah yang berangka tahun 654 S = 732 Masehi, menyebutkan pemujaan terhadap Dewa Siwa, Wisnu dan Brahma dalam suatu susunan yang vertikal, dengan mentokohkan Dewa Siwa sebagai yang paling dominan. Ini berarti secara konkrit pada 732 Masehi agama Hindu dalam arti pemujaan Tri Murti telah muncul di Jawa Tengah.
Munculnya agama Hindu di Jawa Timur ditandai oleh prasasti Dinoyo pada 760 Masehi. Di dalam prasasti ini terdapat kata putikeswara yang berarti api suci dari Dewa Siwa. Perkembangannya kemudian merupakan kelanjutan dari Jawa Tengah dengan berbagai corak.
Pengertian Tri Murti di Indonesia adalah pemujaan terhadap tiga dewa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa secara vertikal dengan pemujaan terhadap Dewa Siwa paling menonjol. Karena itu paham Tri Murti di Indonesia sering disebut Siwaisme atau sebaliknya Siwaisme atau agama Siwa adalah cakupan Waisnawa dan Brahmaisme. Inilah yang secara nyata kita anut di Indonesia sekarang. Mengenai siapa yang menyebarkan agama Siwa (baea : Hindu) di Indonesia, para ahli menunjukkan kepada seorang tokoh yaitu : Maharsi Agastya yang banyak namanya diabadikan pada prasasti-prasasti dalam Kesusastraan Jawa Kuno.
Disamping agama Hindu, maka agama Buddha juga masuk ke Indonesia. Menurut penelitian para ahli, bahwa agama Buddha Hinayana masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke 3 Masehi. Hal ini diberikan persaksian oleh arca perunggu berbentuk Buddha Dipangkara yang terdapat di Sempaga-Sulawesi Tengah yang memakai gaya amarawati. Di Jawa Tengah agama Buddha Hinayana telah ada tahun 664 Masehi, dimana seorang pendeta Buddha Cina bernama Hwining menterjemahkan kitab Mulasarwastiwadanikaya, yaitu salah satu kitab suci Buddha Hinayana, bersama pendeta Indonesia (Holing) yang bernama Jnanabhadra.
Pada abad ke 7 Buddha Mahayana masuk dan berkembang di Sumatera Selatan bersama dengan pertumbuhan kerajaan Sriwijaya, yang diberikan persaksian oleh prasasti batu Kedukan Bukit tahun 683 Masehi dan prasasti batu Talang Tuwo tahun 684 Masehi. Dalam prasasti Talang Tuwo itu terdapat kata Wajrasarira yang artinya berbadan Wajra. Ini memberikan data, bahwa agama Buddha Mahayana yang masuk ke Sriwijaya adalah mazab Wajrayana atau juga disebut Buddha Tantra. Selain mazab Wajrayana, maka mazab Yogacara dari Buddha Mahayana juga masuk ke Indonesia.
Agama Buddha Mahayana ini juga masuk ke Jawa Tengah pada abad ke 8 Masehi, periode awal Sailendrawangsa di Jawa Tengah diberi persaksian oleh prasasti Kalasan tahun 754 M. Masuknya Buddha Mahayana ke Jawa Tengah yang diduga perkembangan dari Sriwijaya, mendesak Buddha Hinayana di daerah itu, sehingga Buddha Hinayana tidak lagi disebut-sebut dalam sejarah Agama di Indonesia.
Dari abad ke 8 sampai abad ke 9 agama Siwa dan agama Buddha Mahayana hidup berdampingan secara damai di Jawa Tengah (peaceful coexistence) di bawah dinasti Sanjaya dan dinasti Sailendra. hal ini dibuktikan dengan adanya Candi Borobudur sebagai lambang kemegahan agama Buddha Mahayana pada abad ke 9 (824-842 Masehi) dan Candi Prambanan pada abad ke 9 juga (± 856 Masehi) sebagai lambang kemegahan agama Siwa di Jawa Tengah.
Dalam perkembangan selanjutnya, sejarah mencatat terjadinya perluluhan antara beberapa unsur agama Siwa dan agama Buddha Mahayana dan dalam proses perluluhan ini, agama Siwa lebih dominan. Titik permulaan luluhnya antara kedua agama di mulai di Jawa Tengah sejak abad ke 9, kemudian berkembang di Jawa Timur sejak abad ke 10. Secara intensif perluluhan itu memuncak pada periode Singosari di Jawa Timur dan Kertanegara sendiri bergelar Prabu Siwa Buddha. Dalam zaman Majapahit perluluhan itu lebih luas lagi meliputi bidang filsafat, upacara agama, seni bangunan, kesusastraan dan tata pemerintahan. Pada periode inilah muncul kakawin Sutasoma dan cerita Bhukbhuksah Gagangaking yang bertenden Siwa-Buddha.