Notifikasi

Memuat…

Rahasia Yoga Kawisesan Bali

Rahasia Yoga Kawisesan Bali

iki gegelaran manusa sakti, jalma luwih, kawruhakena dening prayatna, rumegep Sang Hyang Wisesa, tingkahing pati, lawan urip, manusa sakti bernama I Jaratdrana, ika Wisnu Buwana ngaran. Yan teka ring patine, jalanang manusa saktine, yang bernama I Jaratdrana ane ada di sor, ne nongos di bongkol tulang jringe, irika pagenahing atmane, apange matunggung menek, adan atmane I Belis, ne been apine, ne beduwur yeh, yen suba yan matungga lan dadi abesik, ya madan Gni Rakasya, margane terus kematane, away simpang, apan marga utama ya, anggon ngeseng lara, sehananing lara wenang kageseng denya.
Yan terka ring pati, majalan makejang, apan tunggal pati lawan urip. Rupan manusa saktine putih, ne nongos di bongkol tulang jringe. Irika genah Sang Wenara Petak. Matane tengen mangaran Bhatara Guru, matane di tengah mangaran Simaralaya, matane di kiwa mangaran indraloka, pasyakan matane di tengah bernama Wisnu Buwana, gegelaran manusa sakti manderaguna manusia setengah Dewa.
Karena itu, di dalam hidup ini hendaknya dengan tekun dan sadar selalu membersihkan diri. Mengurangi keangkaraan hati. Dan bilamana datang dari kematiannya, maka berjalanlah dengan tenang, "margannya menek ke pabahane (ubun-ubun), budinta apang enak, yang sida semangkana, ya mangaran manusa sakti, ya mangaran manusia setengah Dewa sakti manderaguna. Yan kita sampun wruh semangkana, wenang kita mabrata, ngurangin pangan kinum, mwah aturu lan senggama. Away wera dahat, nadyan kita mati tan pabya, tan urung kita anungkap swarg luwih". Kalau memang sudah bisa begitu, bila nanti kita mati, walaupun tanpa di aben, tanpa dibuatkan upakara, kita akan tetap masuk sorga.


Inilah rahasia yoga, kuncinya adalah kesucian hati, pikiran dan perilaku. Lakunya adalah mengurangi makan-minum, tidur dan senggama. Membersihkan diri, berarti menyingkap tirai yang menyelubungi Sang Hyang Atma. Sehingga kita bisa melihat penampakan-Nya, dan senantiasa mendapatkan berkah-Nya.

Ingat, di dalam ajaran Kanda Pat, Sang Hyang Siwa atau Dewa Siwa dianggap sama denga Yang Maha Tinggi atau Tuhan yang maha esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dan di Buwana Agung Dewa Siwa disebut dengan Brahman. Sedangkan di Buwana Alit ring angga sariranta, di dalam diri manusia Dewa Siwa disebut dengan Atman. Atman adalah percikan sinar suci Brahman. Oleh sebab itu, bila kita mendapatkan penampakan dari Atman. Itu berarti kita juga mendapat penampakkan dari Brahman. Kalau sudah begitu, pasti memiliki kesucian, kesidian dan kekuatan gaib. Itulah jalma luwih, atau Brahmana sejati.

Kembali kepada yoga, meditasi atau semadhi. Penampakan seperti apa yang telah disebutkan di atas, hanya bisa didapatkan lewat yoga, meditasi atau semadhi yang khusuk dan benar. Sehingga mencapai titik dimana anda mengalami liyeping aluyup, antara turu tan turu. Seluruh kesadaran terkosentrasi ke dalam diri. Dalam cerita pewayangan masalah ini sering digambarkan dengan kalimat yang indah sebagai berikut : “Anutupi babahan hawa sanga, manages marang Hyang Suksma kawekas”. Bila sudah bisa menyatu dalam yoga, meditasi atau semadhi. Maka tidak lama kemudian byar tampak cahaya biru keputihan, dan setelah diamati ternyata itu adalah sederetan gunung kapur, atau gunung yang memancarkan cahaya keputih-putihan.

Menurut sastra Kanda Pat Dewa apa yang tampak tidak lain adalah cahaya dari; papusuh, nyali, ati, ungsilan, limpa, babuwahan, usus gung, urung-urungan, dan peparu, yang dicahayai oleh dasapramana. Maka terbukalah tirai gaib yang menutupi Atman. 
Yan katon metu ring amprunta, kadi tejaning wulan mawelu, ya Sang Hyang Atma ngaran. Yan saking atinta metu, katon kadi surya unimba, ya pracayaning uripta. Yang katun metu ring papusuh, katon ameleng-ameleng angibeki jro garba, mahening kadi surya, itulah cahyaning Sang Hyang Taya.
Yan katon cahaya ungu, ring windu sasika, rika selaning alista, itulah parowaning urip, kalawan atma muwang sadpramana. Ya mawak tunggal, dadi lung jiwa, ya soca tunggal ngaran, ya jawaning awak, pametunnya saking siwadwara (ubun-ubun). Pametuning atma saking granasika, kadi anak-anakan mas, angadeg katon ring arepta, iya cahyaning atma ika. Yan katon kadi danta, merasa suwung ring sarira, ika hening atinta, ya ingaran sepa-sepi, hening atinta pinaka suksemaning yoga. Yan sira weruh samangkana, wikan kita pasimpenan turunta, ya jadma nora mati, matinggal kurungan. Maka sebenarnya tidak ada kematian, karena selalu hidup dimanapun Sang Hyang Atma berada. Dwaning kari urip, apan wikan ring kapatinta. Duk sira enak aturu ika ngaran mati, nanging tan mati, apan Sang Hyang Premana manggeh ring raganta.
Untuk mempertahankan kesucian diri, reh sampun angawasang cahyaning Sang Hyang Atma, maka yang kalaning Purnama, muwang tilem, apang enak budintam aja wor pitresna, apan tunggal urip lawan pati. Yan sira werus semangkana, nadyan wong sudra, rinuwat dening batara, sampurna patine reki, atmane wor lan batara. Dalam kitab Tutur Kalepasan disebutkan : 
Dengan cara menahan nafas-ambegan-sekuatnya, dan didalam batin mengucapkan aksara suci Ongkara. Kemudian pikiran dapat mewujudkan Panca Dewata, beserta tempat persemayaman beliau. Yang pada akhirnya segala kekuatan itu diarahkan ke tengah-tengah kepala. Bila hal ini dilaksanakan, maka tercapailah kamoksan itu"
“Ini adalah jalan utama. Kunci nafasmu. Keluarkan lewat ubun-ubun. Jangan gelisah dengan datangnya kematian, maka pergilah ke alam sunya”. 
Demikianlah yang dijelaskan oleh para leluhur di jaman dulu. 
Barang siapa yang memiliki iman yang teguh-sentosa ing budi teguh, setya tuhu kautamaning lampah-maka ia akan kembali ke Siwaloka, yaitu alam sunya yang tenang, sangat mulia tak ada taranya. Itulah yang disebut kamoksan”, begitu kata kitab Buana Kosa.
Hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam yoga, meditasi atau Samadhi ini adalah ketentraman hati. Sebab perasaan yang tenang merupakan dasar utama, agar bisa mencapai sunya dalam pikiran. 

Pada tahap awal belajar, melatih ketenangan dan sunya pikiran inilah yang sulit. Tetapi pada akhirnya, dengan latihan yang teratur dan tekun, anda akan menemukan cara tersendiri untuk mencapai sunya atau pengosongan ini. Pengalaman bahwa pengosongan, suwung, atau sunya ini, secara total sangatlah sulit dicapai. Karena pada hakekatnya bukan pengosongan, suwung atau sunya yang terjadi, melainkan kita tidak merasakan keberadaan kita. Artinya tidak dirasakan adanya-mati raga-atau mati sajeroning urip.

Pada saat seperti inilah sebenarnya kita mengalami hubungan dengan dunia gaib. Dimana kita telah mengalami mati raga, yaitu suatu puncak diam, dimana kita sudah tidak merasakan adanya badan kita, seakan-akan kita sudah tidak berbadan kasar lagi. Karena pada saat itu kita sedang mengalami kelepasan, terlepasnya roh dari badan wadag. Itulah kebebasan tertinggi, itulah kamoksan, itulah rahasia yoga, meditasi atau Samadhi. Tetapi sangat sulit mendapatkannya, karena itu rahasiakanlah.

Mati dalam hidup

Tembang raras berkata : 
“Tuhan bersembunyi dalam kematian, Dewa dan bhatara tersembunyi dalam hidup. Keberadaan disini adalah hidup, tetapi hidup diresapi dan diliputi oleh kematian. Kematian menguasai seluruh kehidupan. Segala sesuatu tunduk kepada kehancuran (kematian). Hidup ini baik sekali (utama) bisa bersahabat dengan kematian. Usahakanlah, supaya bisa mati sambil tetap hidup".
Lebih lanjut dikatakan : 
“Barang siapa ingat akan kematian, barang siapa dapat mati sambil tetap hidup, barang siapa menerima bimbingan, agar menjadi jelas baginya segala peraturan Yang Maha Agung, barang siapa selalu menyadari bahwa ia berada di tengah-tengah kematian, barang siapa dengan jelas melihat kesempurnaan, hidup orang itulah luhur, karena hidupnya berkaitan dengan kematian, yang sekaligus hidup tanpa tunduk kepada kematian, itulah hakekat Hyang Suksma”.
Ungkapan tembang raras tersebut di atas, merupakan suatu pandangan mengenai “mati sajeroning urip” (mati ditengah-tengah kehidupan) atau hidup sesudah mati. Kreemer dengan tepat menjelaskan bahwa dengan ungkapan tadi yang dimaksudkan adalah ekstasis. Mati terhadap dirinya sendiri berarti hidup dalam kemanunggalan dengan Brahman, dan ini diteruskan, sesudah kematian jasmani disebut “hidup di tengah-tengah kematian” (hidup sesudah mati). Karena pengertian mati di sini tentu dalam artian rohani, terlepasnya ikatan Atman dengan badan. Meninggalkan alam keduniawian menuju alam kerohanian. Alam penghalusan atau alam dunia halus. Adapun cara untuk mencapainya ialah dengan laku. Dan salah satu jalannya adalah dengan meditasi, yoga atau semadhi. Jadi meditasi, yoga atau semadhi adalah salah satu jalan untuk mencapai “pelepasan diri”, dengan cara terus menerus mengekang dan menyingkirkan nafsu angkara dan menghentikan makartinya jiwa raga (=kukutaning jiwangga).

Seorang guru dalam “ngelmu sepuh”, yaitu penuntun kejiwaan, dalam ilmu kuno yang sempurna mengajarkan kepada kita, bahwasanya di dalam keadaan yang demikian itu, kita dapat menghayati hal-hal yang tidak dapat kita lakukan dalam keadaan biasa. 

Pada keadaan meditasi, yoga atau semadhi, kita akan segera mencapai suatu titik, dimana kita merasa seolah-olah berjalan dengan lenggang dan perlahan-lahan. Di dalam keadaan yang demikian itu, kia dengan “mata batin” akan melihat bermacam-macam rupa yang menakutkan, sehingga berdiri bulu kuduk dan merinding seluruh badan. Jika tidak dapat menguasai keadaan yang tegang ini, maka gagalah semua meditasi, yoga atau semadhi kita. Karena semua rerupan yang menakutkan itu, adalah merupakan perwujudan dari hawa nafsu kita sendiri. Jadi bila tidak bisa menguasainya, berarti belum mampu mengatasi hawa nafsu sendiri.

Selain dari itu, agar orang dapat menghayati suara Tuhan, maka disamping meditasi, yoga atau semadhi, diperlukan juga adanya kesucian di dalam tingkah laku. Dalam tatanan yang lebih jauh dan lebih dalam lagi, maka kita tidak hanya diwajibkan untuk menguasai hawa nafsu, melainkan harus mampu membunuh atau memusnahkan nafsu angkara itu. Yang berarti pemusatan semua kemauan dan juga melambangkan pemutusan hubungan terakhir dengan keduniawian. Sebab menjelang bangkitnya kejiwaan yang sejati untuk memasuki dunia yang lain, maka “naga si pelaku meditasi, yoga atau semadhi akan berhenti sejenak”.

Maka bangkitlah “kejiwaan sejati”-nya ke dalam dunia gaib yang tak terbatas. Itulah Dunianya yang di dalam literature Jawa yang disebutkan sebagai “Dunia cemerlang tanpa bayangan”. Inilah yang dimaksud dengan istilah:
  • Segara tanpa tepi”, artinya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. 
  • Tapaking kunntul anglayang”, artinya mengetahui rahasia kematian, sekaligus tidak tunduk kepada kematian. 
  • Galihing kangkung”, artinya tidak ada atau sirna, segala kesengsaraan dan segala keinginan ditiadakan secara sempurna. Sehingga orang mengalami keadaan yang penuh kedamaian dan kebahagiaan mutlak, yakni suatu keadaan sempurna yang jauh lebih baik dari keadaan di Dunia ini. 
  • Isining buluh bungbang”, artinya suatu cahaya yang terang yang suci murni tanpa asal, tanpa akhir dan tanpa awal. 
  • tan kena kinaya ngapa”- tak dapat diumpamakan seperti apapun. Ia timbul dari kekosongan, Sunya, Sunyata dan itulah kebenaran tertinggi. Dan hanya itu yang dapat dijelaskan.
Jikalau orang sudah sampai sedemikian jauh, maka boleh dikatakan ia telah mencapai kesempurnaan, dan seorang yang demikian itu dengan tepat dikatakan, bahwa dia telah menjadi “Manusia Setengah Dewa sakti manderaguna”. Yan tan wruha samangkana, yadnyan Wesya, Satrya, Brahmana, Dalem, dudu kita manusia, itu adalah hewan berbadan manusia atau itulah orang Sudra yang sebenarnya. Yan wruha kita samangkana, sagenging papanta, Nerakanta Moksa ilang, yan sira ngalekas, away byahpara, den tepet sira mayoga.

Dalam sastra Kejawen juga ada disebutkan hal seperti ini, khususnya dalam Serta Aji Pameleng. Kurang lebih artinya sebagai berikut : 
“Barang siapa yang memahami ajaran ini, kalau dia orang Sudra akan diangkat derajatnya menjadi Wesya. Kalau dia Wesya akan diangkat derajatnya menjadi Satrya. Kalau dia orang Satrya akan diangkat derajatnya menjadi Brahmana. Dan kalau dia orang Brahmana akan diangkat derajatnya menjadi Manusia setengah Dewa. Atau kalau dia orang yang sakit-sakitan akan sembuh. Kalau dia orang yang sengsara akan bahagia”.
Begitu pula sebaliknya : 
“Barang siapa yang tidak memahami ajaran ini tidak perduli apakah dia orang Sudra, Weisya, Ksatria, Brahmana, Dalem dsb, maka dia bukanlah manusia. Dia adalah binatang yang berbadan manusia. Wujudnya memang manusia tapi berprilaku sebagaimana layaknya binatang. Orang yang seperti itu hidupnya akan sengsara sekala dan niskala”
Lihat saja orang yang bisa ngeleyak. Sudah diciptakan menjadi manusia, malah ingin kelihatan seperti binatang, atau bhutakala. Umpama, ingin dilihat seperti binatang ayam, anjing, monyet, sapi, kelelawar, garuda mas dan sebagainya. Atau ingin dilihat seperti celuluk, jaka tunggul, rangda, dan sebagainya. Orang yang seperti itu, dijamin matinya nanti akan menjadi hantu. Biar diupacarai dengan cara apapun tetap saja tidak akan merubah karmanya, sia-sia.

Manusia Setengah Dewa

Yan sira weruh ring angganta, weruh ta sira ring Dewa- barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Dewa-karena Bhuta lan Dewa tan madoh ring awak. 
Ungkapan kuno ini terkesan biasa-biasa saja, tidak ada apa-apanya, tidak ada yang istimewa. Karena selama ini kita merasa sudah mengenal diri kita sendiri. 
Betulkah demikian? 
Kalau memang benar berarti anda sudah mengenal Dewa. Tapi, kalau anda belum mengenal Dewa, berarti anda belum mengenal diri sendiri. Pemahaman kita selama ini tentang diri sendiri, hanyalah pada segala sesuatu yang berkaitan dengan badan fisik, termasuk nama yang diberikan orang tua kita. Kita tidak mengenal diri kita seutuhnya. Kita hanya mengenal lahir, tidak mengenal batin. Tapi mengapa kita tidak mengenal diri kita secara batin?

Ki Agung Pranoto menjawab; 
“karena manusia adalah makhluk ajaib”. Saking ajaibnya, tidak ada satu pun fak ilmu pengetahuan yang berhasil berdiri sendiri, secara murni dalam mengurai misteri manusia. Ilmu pengetahuan harus melakukan persekutuan, jika bermaksud meneliti fenomena ciptaan paling sempurna itu. Manusia, ditinjau dari filosofi supranatural, sesungguhnya cuma terdiri dari tiga unsur saja. Pikiran, roh dan jiwa. Memang, ada unsure abstrak lain seperti nyawa. Namun, karena pengertian nyawa berkait erat dengan organ jantung, maka ia dianggap tidak bisa disekutukan sebagai unsure supranatural bawaan. Nyawa jadi bagian mutlak misteri Ketuhanan. Lambang unsur transendental. Tiga unsupr supranatural tersebut adalah sebentuk zat yang memiliki otonomi penuh. Dalam arti, dianugerahkan dalam bentuk abstrak, dan bisa berubah atau diubah oleh manusia. Nyawa tidak bisa diubah sedikit pun. Hanya bisa musnah jika dikehendaki Maha Pencipta.

Otak mengendalikan Otak

Walaupun, pikiran manusia merupakan hasil kerja organ yang bernama otak, namun kategori daya kerja pikiran tetap tak memiliki batasan yang jelas. Dimensi pikiran tidak terukur, karena mampu melampaui kecepatan cahaya dan tidak dapat dihitung oleh waktu. Di sisi lain, misteri otak masih belum dapat diurai oleh daya pikir manusia itu sendiri. Penelitian terhadap misteri otak sebagai sentral dari seluruh daya kerja organ manusia, juga belum sampai pada kesimpulan puncak. Semakin dibedah, ternyata semakin misterius.

Spesifikasi otak terdiri dari dua bagian yang berlawanan, otak besar dan otak kecil, lalu otak besar dibagi lagi jadi otak kanan dan otak kiri, dan ini masih merupakan misteri tersendiri bagi ilmu pengetahuan. Barangkali, tidak ada yang pernah berfikir, bahwa otak sesungguhnya dapat dijadikan obyek oleh otak itu sendiri. Misal, otak memerintah otak untuk mengendalikan organ lain di luar panca indra. Seperti alur darah, ketukan nafas, refleksi otot dan sebagainya. Selama ini, mekanisme kerja organ tersebut, dianggap sudah memiliki mekanisme baku.

Otak Cuma disimpulkan sebagai subyek atas segala bentuk aktivitas organ manusia. Padahal, melalui olah meditasi, yoga dan semadhi, otak dapat dikendalikan secara supranatural oleh otak. Otak menjadi subyek sekaligus obyek bagi otak. Dalam khasanah budaya Jawa, pikiran adalah pancer atau poros abadi dari seluruh inerja organ manusia. Baik secara fisik maupun non fisik-supranatural, spiritual, gaib dan sebangsanya dan sejenisnya. Fungsi pikiran jadi barometer panca indera.

Acapkali orang menyalah artikan, indera keenam ada pada indera perasa dan disebut kepekaan rasa. Dalam ilmu biologi, indera perasa sendiri, ada di lidah manusia. Pada hakekatnya, indera keenam tidak dilahirkan indera perasa. Tapi lahir dari pikiran atau hasil daya otak. Jadi, disamping berfungsi mengendalikan panca indera, otak manusia juga menjadi pusat indera lain yang mengandung daya supranatural. Maka dari itu, otak disebut pancer oleh ilmu kebatinan Jawa. Atau disebut I Ratu Nyoman Sakti Pangadangan oleh ilmu Kanda Pat Sari Bali. Atau dianggap Dewa Siwa dalam ilmu kebatinan Kanda Pat Dewa di Bali. Karena itu, dianggap paling sakti diantara saudara-saudaranya yang lain.

Maka, dalam pendekatan yang paling masuk akal dapat disimpulkan, indera keenam dikendalikan oleh pikiran. Pikiran, ditinjau dari sudut pandangan supranatural, merupakan cerminan gerak jiwa dan refleksi roh manusia. Selama ini, indera keenam yang dikelola pikiran, lebih dikenal sebagai penghasil isyarat abstrak atau gaib, yang sulit diejawantahkan secara fisik dan visual. Termasuk isyarat mimpi-mimpi, yang notabene hasil kerja otak kecil.

Pada prinsipnya, konsep indera keenam adalah bagian penuh mekanisme kerja otak kecil. Dalam olah meditasi, yoga atau Samadhi, indera keenam dapat dimunculkan jika trjalin kolaborasi otak kecil dengan poros penyangga tubuh. Dalam pengertian populer, poros penyangga disebut alur sum-sum tulang belakang. Dari tulang ekor sampai tengkuk lalu berakhir di otak kecil. Orang yang ingin mendalami olah meditasi, yoga atau Samadhi, akan sangat bergantung pada poros penyangga tubuhnya. Poros penyangga difokuskan dan difungsikan sebagai batas antara.

Dalam arti, jadi poros penghubung, antara energy di pusat Bumi dan titik tertinggi di langit. Ketika memasuki puncak meditasi, yoga atau Samadhi, tubuh manusia menjelma menjadi “cakrawala”. Sebentuk wilayah yang tidak bergravitasi, menjadi tujuan akhir dalam proses bermeditasi, yoga atau Samadhi. Wilayah ini tidak ada di alam fana, alam khayali atau alam gaib (siluman). Namun ada pada dimensi yang tidak pernah terpetakan. Baik oleh ilmu pengetahuan, Dunia spiritual, apalagi Dunia benda.

Ia adalah sebentuk gugusan supranatural yang mewujud, ketika terjadi loncatan fungsi indera. Dari panca indera ke indera keenam. Terjadinya pergeseran, pengalihan atau loncatan fungsi indera ini, sepenuhnya di bawah kendali otak kecil. Peran otak kecil ditopang tujuh titik meditasi, yoga atau Samadhi, yang biasa disebut dengan cakra berporos pada tulang belakang, jadi unsure paling penting dalam olah meditasi, yoga atau Samadhi.

Sebelum melakukan meditasi, yoga atau Samadhi, seseorang diharuskan menata pikirannya. Membangun kondisi mental, dengan cara : menutup segala bentuk hawa nafsu Seperti 9 sumber nafsu dalam filosofi Kejawen yang disebut babahan howo songo. Sembilan sumber nafsu yang keluar dari 9 lubang dalam tubuh manusia. Pengelolaan organ fisik seblum bermeditasi, yoga atau samadhi, dimaksudkan sebagai upaya memudahkan pengenduran urat syaraf dan melancarkan sirkulasi oksigen dalam darah. Dengan tercapainya kondisi tersebut maka, seseorang akan semakin mudah melakukan meditasi, yoga atau Samadhi.

Jaringan listrik tubuh

Selain melancarkan peredaran darah dan mengurai simpul syarat tersumbat, meditasi, yoga atau samadhi, juga bakal membangkitkan jaringan listrik tubuh. Konon, antara darah, urat syaraf dan kelenjar otot yang malang-melintang di dalam tubuh, dihubungkan oleh jaringan listrik. Jaringan tersebut lebih bernuansa supranatural.

Keberadaannya, tidak terlacak oleh teknik foto rontgent. Teknik fotografi yang pernah berhasil memotret jaringan listrik tubuh adalah, teknik foografi Kirlian dari Rusia. Jaringan listrik tersebut oleh Dunia ilmu pengetahuan disebut aura. Disamping mengajak berwisata ke wilayah yang tak terpetakan, meditasi, yoga atau Samadhi, juga bakal menghidupkan muncratan listrik tubuh. Sehingga, pelaku meditasi, yoga atau Samadhi, disamping mendapatkan kedamaian pikiran dan konsentrasi yang lebih tajam, juga bakal memiliki vitalitas prima. Selain itu, kalau beruntung akan dapat bonus supranatural dalam bentuk indera keenam.

Dalam pemahaman klasik Jawa, sering tercatat kiasan-kiasan filosofis seperti ono cahyo mangan cahyo atau cahaya memakan cahaya. Kalimat ini sering termuat dalam rapal-rapal Jawa kuno (Mataram Hindu), yang bermakna ada sebentuk siklus zat anti materi di tubuh yang bersifat sangat relatif. Maksudnya, anti materi dan anti materi, bisa menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. Karena itu kiasan itu berupa cahaya, maka sifatnya tentu saja teramat abstrak dan bernuansa supranatural.

Cahaya dalam tubuh, bukan berarti sinar laser atau sinar lampu senter, tapi bunga-bunga cahaya yang dihasilkan unsur listrik tubuh. Percikan itu dapat terjadi apabila ada persinggungan, antara prcikan listrik yang satu dengan percikan listrik yang lainnya. Dalam pengertian sederhana, proses persinggungan tersebut akan mncul, pada saat sedang dilakukan pemompaan oksigen ke dalam darah. Bukan hanya darah yang ada di kelenjar otot, tapi juga darah di pori-pori manusia. Baik pori-pori punggung, perut, tangan, atau kaki.

Diperlukan upaya kontinyu untuk membangkitkan jaringan listrik tubuh. Bunga-bunga cahaya yang dihasilkan, akan terkosentrasi sebagai energi. Sebentuk energi yang bisa dikendalikan untuk mendorong sirkulasi oksigen ke dalam darah, atau ke tempat lain sesuai dengan keinginan. Darah, tidak cuma digerakkan sesuai jalur lalu lintasnya saja. Melainkan, juga dipaksa masuk ke pori-pori atau permukaan kulit. Pemerataan oksigen melalui teknik ini akan menciptkan pancaran tertentu pada wajah atau tubuh seseorang.

Semua itu dapat terjadi, jika seseorang sudah mampu melakukan olah meditasi, yoga atau Samadhi, dan pemusatan pikiran secara benar. Meditasi, yoga atau samadhi, memang sebentuk ritual olah batin dan pemusatan pikiran. Dalam olah meditasi, yoga atau Samadhi, daya listrik cenderung diatur berputar seperti rotasi Bumi. Dari tulang ekor dinaikkan ke puncak kepala, dilanjutkan ke badan bagian depan. Turun, lalu naik lagi. Ini metode pengolahan nafasnya. Sedang metode supranaturalnya tetap berpusat di kepala. Pada pokoknya, meditasi, yoga atau Samadhi, merupakan sebentuk upaya memompa oksigen ke dalam darah, tanpa harus bersusah payah melakukan gerakan fisik seperti oleh raga atau fitness. Memompa oksigen lewat kekuatan pikiran.

Kekuatan pikiran

Memompa oksigen ke dalam sel-sel darah merah melalui kekuatan pikiran, seolah-olah melakukan kegiatan yang tidak masuk akal. Memang, bagi kebanyakan orang, organ tubuh dianggap sudah memiliki mekanisme baku dan mengendalikan dirinya secara kodrati. Namun sesungguhnya, daya pikiran yang dihasilkan otak besar manusia, tidak hanya mampu melakukan kegiatan-kegiatan elementer, seperti mengelola panca indera, misalnya lebih dari itu, pikiran bisa menjadi sumber utama kinerja organ tubuh yang lain.

Anda menggerakkan jari, tertarik membaca tulisan ini atau membuat keputusan untuk membeli buku, tentu karena reaksi berpikir anda. Reaksi ini muncul dari berbagai sebab, diantaranya melalui indera penglihatan. Jika anda mengerti fungsi darah, fungsi oksigen dalam tubuh manusia secara baik sekaligus juga melakukan mekanisme kerjanya dalam keseharian, tidak ada salahnya mula belajar mengatur fungsi oksigen dalam darah dengan daya pikiran. Seperti juga fungsi organ lain, darah dan oksigen sangat patuh kepada perintah otak anda.

Misteri dahsyatnya pikiran manusia, sejak awal sudah ditekankan, sulit untuk dijabarkan. Disamping tidak adanya kesadaran tentang fungsi otak yang hakiki, manusia sendiri cenderung memperlakukan otak seperti anak tiri. Dibanding perlakuannya terhadap organ lain, seperti kaki yang diberi sepatu, rambut yang di creambath seminggu sekali, atau jari tangan yang dihias cincin pemanis. Sesungguhnya, otak, sama dengan perut, juga membutuhkan makanan tertentu. Bukan untuk membuat kenyang-seperti selalu kita lakukan jika lapar, melainkan untuk memperbesar dan memperkuat daya kinerja otak.

Jenis makanan yang paling bergizi untuk otak adalah ilmu pengetahuan. Semakin banyak membaca, sel-sel otak semakin terpacu untuk bekerja. Selain itu, makanan yang berkadar Omega 3 murni, seperti terkandung pada ikan laut, juga dapat membantu memaksimalkan daya kerja otak.

Pikiran terpusat

Penghayatan fungsi indera, berkaitan dengan alam sekitar dan diri pribadi manusia, merupakan awal dari seluruh usaha seseorang untuk membuat pikirannya terpusat. Pemusatan pikiran adalah suatu kegiatan yang sederhana. Saya yakin. Jika anda menggemari buku, begitu membaca judulnya, otomatis langsung membayangkan isinya. Pikiran anda sudah langsung memusat. Lama kelamaan, panca indera anda juga semakin terlatih mengenali “jiwa” tulisan ini, sehingga terjalin kontak rasa. Semakin diminati, semakin dinikmati, semakin menghanyutkan.

Dunia meditasi, yoga atau Samadhi, memang hanya terkesan sejenis olah gerak atau olah nafas. Namun sesungguhnya, lebih mendalam dan lebih berat dibanding anda melakukan senam kesegaran jasmani, atau olah tenaga dalam sekalipun. Dalam meditasi, yoga atau Samadhi, pemusatan pikiran akan membimbing seseorang pada suatu Dunia gerak yang lebih luas dan bebas. Dalam latihan pemusatan pikiran, sebaiknya diciptakan sebentuk suasana tenang dan nyaman.

Para praktisi meditasi, yoga atau samadhi, sering melatih sebelum Matahari menyingsing atau setelah Dunia terlelap (tengah malam). Pada jam-jam itu, tercipta suasana yang sangat hening. Suasana hening, sangat membantu pikiran kita untuk melakukan pemusatan konsentrasi. Dalam keheningan, pikiran akan meusat secara sempurna. Untuk mempertahankan pemusatan pikiran tersebut, maka anda perlu mengendalikan indera perasa, yakni lidah. Ia harus ditempelkan ke langit-langit mulut.

Ditempelkannya permukaan ujung lidah di langit-langit mulut, adalah syarat mutlak dalam meditasi, yoga atau samadhi. Disamping, cara ini membuat oksigen yang dihirup tidak bakal lolos lewat saluran eustachius, lalu Cuma berpusing di rongga mulut. Juga akan menghambat air liur agar tidak menggenang di permukaan lidah. Keduanya jika dibiarkan, akan mengganggu konsentrasi.

Misteri jiwa

Jika posisi otak Manusia, sudah berhasil disimpulkan oleh ilmu pengetahuan dan diklaim ada di bagian tengkorak kepala, maka jiwa Manusia sebagai unsure abstrak-seperti roh, posisinya belum dapat ditelusur secara tepat. Secara umum, jiwa adalah sebentuk kondisi yang dihasilkan lewat tumpukan perasaan tertentu. Rasa senang, gembira, bahagia, akan menghasilkan jiwa yang segar. Rasa sedih, kecewa, cemas, takut adalah bagian jiwa yang terguncang.

Jiwa berkaitan erat dengan pikiran. Jika pikiran terganggu, jika pikiran terguncang, jika pikiran sampai buntu, gara-gara perasaan negative di atas maka muncul kelainan jiwa. Kalau sampai parah. “Ya masuk rumah sakit Jiwa”. Jiwa adalah pembawaan seseorang, ketika hidup dalam kandungan ibunya. Transfer kondisi kejiwaan Ibu hamil kepada bayi di dalam rahimnya, berlangsung sangat cepat. Kondisi kejiwaan adalah kondisi warisan, sedangkan mentalitas bisa dipengaruhi lingkungan pergaulan dan pendidikan.

Seorang penakut akan tetap penakut, jika tidak diberi contoh tentang kejadian yang menghilangkan rasa takutnya. Konflik rumah tangga ketika bayi ada dalam kandungan, juga membentuk kejiwaan anak jadi introvert, murung, lekas putus asa, tidak punya rasa percaya diri dan penggugup. Kondisi kejiwaan, mustahil terbentuk, jika tidak ada peristiwa yang menghentak. Maksudnya, seseorang yang ingin memiliki rasa percaya diri, tidak bakal mampu meraihnya jika kondisi mentalnya terindoktrinasi mentalitas teman, atau mendapat pendidikan yang sengaja mengkondisikan dirinya agar tetap penakut.

Terapi yang dilakukan ahli ilmu jiwa, bisa mengatasi persoalan seperti itu dalam batasan tertentu. Pengubahan kondisi kejiwaan sangat bergantung kepada orang yang ingin mengubah kondisi kejiwaannya tersebut. Meski sulit ditebak, jiwa itu tempatnya di mana, namun secara organisatoris, jiwa selalu berkolaborasi dengan otak kecil. Dalam arti, kondisi jiwalah yang direkam otak kecil sehingga mempengaruhi suasana hati, pikiran dan relaksasi seseorang.

Jiwa harus selalu dalam kondisi tenang. Ketenangan jiwa ada di dalam jiwa. Pikiran bisa membantu jiwa untuk tenang, tapi, jiwa tidak dapat tenang hanya karena bantuan pikiran. Jiwa yang tenang, adalah jiwa yang hidup dalam tubuh manusia dengan metabolism normal. Relaksasi dan kontemplasi termasuk dalam teknik penjernihan jiwa. Dalam kontemplasi, seseorang akan memasuki kondisi pasrah. Karena itu, ia akan lebih bisa meneropong kondisi kejiwaannya dengan baik. Kepasrahan adalah dasar relaksasi. Pengenduran urat syaraf dan otot-otot dari kepala, turun ke tulang bahu lalu ke bawahnya lagi, akan sulit dilakukan tanpa adanya kemauan untuk pasrah.

Pasrah di sini, dimaksudkan sebagai upaya untuk mengucilkan perasaan dan kejiwaan kita, tanpa diikuti bayang-bayang memori atau logika. Pasrah adalah titik paling puncak, ketika orang mengalami ketidakberdayaan. Rasa takut dan sejenisnya, sebaiknya diwujudkan menjadi rasa ketidakberdayaan, lalu diejawantahkan jadi bentuk pasrah. Pasrah adalah kondisi diam namun aktif. Ketika memasuki kondisi pasrah, gambaran-gambaran masa lalu sering tiba-tiba muncul. Karena itu, dibutuhkan dukungan konsentrasi untuk mengikat kondisi kejiwaan agar dalam keadaan tetap. Semakin pasrah, semakin muncul relaksasi.

Inilah yang dinamakan kenyamanan. Dalam suasana nyaman, konsentrasi masuk ke dalam keheningan. Jiwa mulai dijernihkan. Aliran darah terasa ringan berputar di jaringan tubuh. Angin yang mengelus pori-pori, terasa lembut seperti beludru. Jika kondisi ini sudah terasa, berarti anda sudah melakukan relaksasi secara benar. Selanjutnya, anda tinggal melakukan kontemplasi menuju pasrah. Semakin larut ke dalam kenyamanan itu, berarti semakin dekat kepada estafet fungsi jiwa ke fungsi roh. Proses ini membutuhkan daya spiritual tersendiri.

Kondisi perasaan yang stabil, sangat dibutuhkan dalam pencapaian puncak meditasi, yoga atau Samadhi. Musuh utama olah meditasi, yoga atau samadhi adalah rasa marah. Kemarahan seseorang, akan banyak menguras energi yang dimilikinya. Energi manusia juga dikuras oleh hawa nafsu dan beban pikiran. Dalam Dunia meditasi, yoga atau Samadhi, fungsi jiwa menjadi tolok ukur, sejauh mana tingkatan meditasi, yoga atau Samadhi sudah dicapai seseorang. Anda bisa saja menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya di tepi pantai yang sunyi, tapi belum tentu dapat memberi makanan kepada jiwa anda. Paru-paru anda, tentu saja, akan jadi lebih baik dibanding kondisi kemarin. Pikiran juga menjadi jernih untuk beberapa saat. Api jiwa, belum tentu tumbuh dengan baik, jika cuma diberi udara segar.

Kontemplasi atau perenungan adalah makanan utama jiwa manusia. Pada beberapa aliran agama sudah diajarkan soal penyegaran jiwa manusia, baik dengan retret, dzikir, japam atau ritual pengendapan jiwa dalam Buddha dan Hindu. Pada prinsipnya, apa yang dilakukan dalam meditasi, yoga atau samadhi, juga tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan dalam agama. Perenungan diwujudkan sebagai tahapan awal, sebelum seseorang masuk ke dalam meditasi, yoga atau samadhi yang sesungguhnya.

Tujuan utama perenungan adalah untuk menciptakan kesunyian. Sunyi bukan berarti kosong. Melainkan suasana tenang dalam jiwa. Meski di sekitar, banyak suara bising atau kondisi udara sedang dingin atau panas menyengat, ketenangan jiwa yang terbentuk dalam perenungan itulah yang menciptakan kesunyian jiwa. Kesunyian ini, ibarat seseorang yang berdoa tengah malam buta, di pinggir laut yang bergelombang teratur, dan menerima sebentuk suasana teduh serta syahdu.

Demikian pula dalam perenungan pribadi, jiwa diarahkan pada sebentuk kondisi yang pasti. Berangkat dari kesadaran tentang hakekat manusia itu sendiri, lalu hakekat hidup dan hakekat kerohanian yang semakin matang. Kesunyian jiwa akan terbentuk sendiri pada proses meditasi, yoga atau samadhi. Ia menjadi energy spiritual bagi seseorang yang melakukannya. Suasana jiwa yang normal, seperti juga cuaca. Berubah seiring perjalanan musim. Mengikuti bentuk lingkungan yang ditemui. Mengalir seperti air. Memenuhi segenap ruang yang ada. Ketika masuk ke suasana ceria, jiwa ikut ceria. Jika sedih, jiwa berduka. Jika terdesak, jiwa terguncang.

Sedemikian sensitifnya kondisi kejiwaan manusia, maka banyak sekali diciptakan kegiatan-kegiatan untuk menyegarkan jiwa. Semakin seseorang terlalu banyak memakai otaknya untuk beraktivitas, jiwanya semakin membutuhkan penyegaran. Tidaklah mengherankan, jika aktivitas meditasi, yoga atau Samadhi, sebagai salah satu cara menyegarkan jiwa, menjamur mewarnai aktivitas orang-orang modern. Dari kelas atas sampai bawah. Dari praktek meditasi, yoga atau Samadhi, di hotel mewah sampai di pinggir pantai atau di puncak gunung atau lembah.

Kegiatan-kegiatan tradisional seperti di Jawa maupun Bali seperti lelaku tirakat di pantai, gunung, kuburan keramat, sesungguhnya juga bagian dari meditasi, yoga atau Samadhi. Meski dilakukan dalam kerangka berpikir primitif. Secara tidak sadar, mereka sudah melakukan penyegaran jiwa. Melalui kontemplasi dan doa yang dilantunkan. Pada saat ritual itu dilakukan, mereka sesungguhnya sedang melakukan pengendapan jiwa, seperti dilakukan dengan meditasi, yoga atau Samadhi. Pengendapan itu menghasilkan jiwa yang segar.

Ada juga yang beranggapan, tirakat adalah sebentuk ritual ngangsu kaweruh langsung dari alam gaib. Padahal yang namanya ngangsu kaweruh, adalah melaksanakan segala bentuk lelaku yang diwajibkan bagi penganut ilmu gaib. Seperti puasa, bermantera dan pencarian hakikat ingsun sejati. Jiwa yang segar dihasilkan oleh ketekunan seseorang berkontemplasi, introspeksi diri dan merenungi suluruh perbuatannya. Jiwa yang segar dapat dihasilkan melalui proses penghirupan oksigen secara teratur, sehingga melancarkan sirkulasi darah di tubuh.

Dalam kesehariannya, jiwa harus diberi ruang gerak tersendiri, agar selalu bening dan segar. Kesegaran jiwa akan meningkatkan daya apresiasi, baik artistic maupun materialistik. Juga melancarkan kinerja organ itu sendiri. Olah meditasi, yoga atau Samadhi, seni pernafasan dan gerak nurani, akan mengembalikan kondisi kejiwaan pada keadaan yang paling murni. Jiwa yang berumah di kedamaian hati.

Dimensi Roh

Zat yang paling mandiri di jagad raya ini adalah : roh. Tentu saja roh halus. Manusia, juga bagian dari roh halus, Cuma diberi seragam berupa jasad atau bentuk fisik. Roh manusia disebut aura, berwarna putih keperakan. Ketika seseorang meninggal, rohnya akan keluar lewat ubun-ubun di kepala. Roh yang tidak bergentayangan, adalah roh yang tinggal di alam baka, alam penantian, nirwana, bahkan mungkin di sorga atau neraka.

Ketika seseorang dikirimi roh halus, maka seperti ada angin masuk di sela kuku ibu jari kakinya. Ini cirri orang yang sdang kena teluh, tenung, santet, jengges, atau sambaing dan pelet. Istilah Balina kena bebai, pepasangan, acep-acepan, dan guna-guna. Angin masuk itu rasanya seperti orang yang menderita asam urat atau berkolesterol tinggi, tapi nekad makan jeroan kambing. Pokoknya pegal-pegal menjengkelkan. Gejala Balinya adalah anyang-anyangan, sakit di siksikan, susah tidur dan sering mimpi buruk. Jika dibiarkan, angin jahat itu akan naik ke panggul dan selanjutnya numpang hidup di jiwa seseorang. Mengganggu kinerja roh dan pikiran. Kalau dibiarkan, angin jahat itu akan naik ke panggul dan selanjutnya numpang hidup di jiwa seseorang. Mengganggu kinerja roh dan pikiran. Kalau dibiarkan terlalu lama, ya, muncul gangguan jiwa. Gila. Atau penyakit lainnya seperti kanker, tumor, jantungan, lever dan sebagainya.

Kinerja roh yang paling mutlak di dalam tubuh manusia adalah membayang-bayangi hati nurani. Ia harus jadi kaca benggala, bagi proyeksi sifat Ketuhanan dalam diri manusia. Persahabatan erat antara roh dan hati nurani akan melahirkan sinyal-sinyal moral yang membimbing perilaku manusia. Ia akan bekerja, ketika hawa nafsu mulai bergelora. Roh itu abadi. Ia bekerja, dari sejak diturunkan kepada seseorang, sampai akhir zaman. Tidak ada yang mampu mencabut roh dari tubuh manusia, kecuali takdir kematian. Dukun santet atau leak pun tidak mampu mencabut roh. Ia hanya mampu merusak organ tubuh, sehingga berhenti bekerja. Karena berhenti, maka rohnya keluar dari badan.

Meski seseorang mati kesantet, atau amah leak itu tidak pernah musnah. Roh itu tidak bisa mempengaruhi roh lain. Kecuali ia dalam penguasaan roh ketiga. Misal, seorang pemuja siluman yang sudah mempersembahkan rohnya kepada siluman, maka ia dapat melakukan hal tersebut. Roh siluman akan membantu dirinya untuk mempengaruhi roh orang lain yang diinginkan. Roh ketiga itu, membantu si pemuja masuk ke dalam halusinasi, khayalan atau mimpi-mimpi yang diinginkan. Selanjutnya, terjadi penyekapan roh, sehingga kondisi fisik dan pikiran orang tersebut terguncang, atau mengikuti keinginan pemakai jasa roh siluman.

Penyekapan roh memang mungkin terjadi. Tapi pemusnahan roh tidak mungkin terjadi, sebab roh bersifat kekal. Roh akan kembali ke roh. Manusia akan kembali menjadi tanah. Atau abu, kalau mayatnya dikremasi, bila pada dasarnya, jalan roh menuju alam baka adalah sama. Sebuah jalan panjang menuju kehidupan kekal. Sebuah penantian sampai akhir zaman. Versi jalan ini, menurut kitab suci berbeda satu dengan lainnya. Jadi tidak perlu diperdebatkan. Roh tidak dibatasi oleh usia atau keadaan Dunia. Ia memiliki dimensi yang berlainan, disbanding seluruh alur kehidupan yang ada.

Dimensi roh terletak pada dimensi antara. Yakni sebuah wilayah tanpa bobot dan tanpa kehidupan. Antara jagad manusia dengan jagad maha kuasa. Sehingga, arti roh yang tidak dapat dimusnahkan, mendapat pengesahannya. Roh akan tinggal di sebuah wilayah, yang menjadi batas antara surga dan Dunia, ketika seorang meninggal Dunia. Posisi roh, dari sudut pandang Kejawen adalah Sukma sejati. Sukma sejati adalah puncak tertinggi dari tujuan meditasi, yoga atau samadhi. Roh menjadi muara atas segala aktivitas meditasi, yoga atau Samadhi yang dilakukan seseorang.

Maka demikianlah, bahwa di dalam diri manusia tersimpan empat kekuatan gaib yang sangat dahsyat. Pertama adalah Kanda pat atau sadulur sejati, kedua pikiran, ketiga jiwa dan keempatnya roh. Maka barang siapa yang bisa membangkitkan, mengolah semua kekuatan itu, menjadi bentuk-bentuk kesaktian, kawisesan, kamoksan dan sebagainya, dia adalah Manusia setengah Dewa sakti manderaguna.
Baca Juga
Posting Komentar