Upacara Magedong-gedongan (Garbha Wedana)
Upacara Magedong-gedongan (Garbha Wedana)
dalam usaha memelihara keselamatan bayi selama ada dalam kandungan, perlu adanya perawatan secara niskala, yaitu lewat beberapa upacara yang dilakukan.
Dan salah satu usaha ke arah itu, adalah upacara nyidam yang disebut upacara “Pangrujakan”.
Maksud dan tujuan upacara ini adalah, supaya kandungan si ibu itu, supaya bayi (manik) yang sedang memproses dirinya di dalam kandungan, menjadi waras, sehat atau terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Didalam buku Manusa Yajna menyebutkan bahwa, supaya bayi yang ada dalam kandungan menjadi waras, kuat dan dirgayua (panjang umur), artinya tumbuh dengan normal, perlu ditolong dengan sarana sadrasa yang disebut rerujakan. Gunanya adalah memberikan alat perekat terhadap manik dalam rahim, yaitu pada saat si ibu hamil sedang nyidam.
Rujak yang telah selesai dibuat, lalu dimohonkan restu ke hadapan para Dewa dan roh leluhur, dengan harapan agar ibu dan bayi yang sedang dikandungnya menjadi selamat.
Selanjutnya adalah upacara “pagedong-gedongan”,
Menurut lontar kuno Dresti upacara Garbhadanaini baik dilaksanakan setelah kandungan berumur lima atau enam bulan kalender, dimana wujud bayi pada saat itu dianggap sudah sempurna sesuai dengan artikel "Kanda Pat Rare dan Pembentukan Bayi Manusia" karena pada saat itulah pertumbuhan janin sudah sempurna berbentuk sosok bayi utuh berbadan laki atau perempuan.
Upacara pagedong-gedongan disebut juga upacara garbhadana. Tujuan upacara ini adalah memohon keselamatan jiwa araga si bayi yang ada dalam kandungan. Diharapkan melalui upacara ini bayi yang lahir dalam keadaan selamat, kemudian dapat hidup, tumbuh menjadi yang berguna bagi masyarakat. Demikian pula dimohonkan keselamatan atas diri si ibu dan lancar pada waktu melahirkan. Secara umum hal ini diwujudkan dengan memohon penglukatan yang khusus untuk orang hamil dari seorang sulinggih terutama bertepatan dengan hari sabtu keliwon uku wayang (Tumpek Wayang) atau dipilih dari hari yang di anggaap baik untuk maksud tersebut.
Selain melaksanakan upacara seperti di atas, orang tua menjadi wajib melaksanakan brata dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya orang tua jangan berucap “Wakcapala” artinya berkata-kata kotor. Selain itu orng tua wajib melaksanakan “Wakpurusia” artinya tidak berkata yang dapat menyakitkan hati orng lain. Termasuk juga selalu memelihara ikatan cinta kasih dalam membina rumah tangga. Bila brata seperti di atas tidak dilaksanakan maka dikhawatirkan sifat buruk di atas dapat berkibat buruk bagi bayi dalam kandungan. Agar bayi mendapat pengaruh yang baik, sebaiknya orang tua berperilaku positif, misalnya membaca buku-buku kerohanian, wiracerita, atau cerita-cerita yang bersifat tuntunan budi luhur. Upacara ini terutama di tunjukkan kepada janin (sibayi yang ada di dalam kandungan) dan merupakan upacara manusa yadnya pertama sejak menjadi manusia. Secara umum hal ini diwujudkan dengan memohon penglukatan yang khusus untuk orang hamil.
Menurut lontar kuno Dresti upacara Garbhadanaini baik dilaksanakan setelah kandungan berumur lima atau enam bulan kalender, dimana wujud bayi pada saat itu dianggap sudah sempurna sesuai dengan artikel "Kanda Pat Rare dan Pembentukan Bayi Manusia" karena pada saat itulah pertumbuhan janin sudah sempurna berbentuk sosok bayi utuh berbadan laki atau perempuan.
Upacara pagedong-gedongan disebut juga upacara garbhadana. Tujuan upacara ini adalah memohon keselamatan jiwa araga si bayi yang ada dalam kandungan. Diharapkan melalui upacara ini bayi yang lahir dalam keadaan selamat, kemudian dapat hidup, tumbuh menjadi yang berguna bagi masyarakat. Demikian pula dimohonkan keselamatan atas diri si ibu dan lancar pada waktu melahirkan. Secara umum hal ini diwujudkan dengan memohon penglukatan yang khusus untuk orang hamil dari seorang sulinggih terutama bertepatan dengan hari sabtu keliwon uku wayang (Tumpek Wayang) atau dipilih dari hari yang di anggaap baik untuk maksud tersebut.
Selain melaksanakan upacara seperti di atas, orang tua menjadi wajib melaksanakan brata dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya orang tua jangan berucap “Wakcapala” artinya berkata-kata kotor. Selain itu orng tua wajib melaksanakan “Wakpurusia” artinya tidak berkata yang dapat menyakitkan hati orng lain. Termasuk juga selalu memelihara ikatan cinta kasih dalam membina rumah tangga. Bila brata seperti di atas tidak dilaksanakan maka dikhawatirkan sifat buruk di atas dapat berkibat buruk bagi bayi dalam kandungan. Agar bayi mendapat pengaruh yang baik, sebaiknya orang tua berperilaku positif, misalnya membaca buku-buku kerohanian, wiracerita, atau cerita-cerita yang bersifat tuntunan budi luhur. Upacara ini terutama di tunjukkan kepada janin (sibayi yang ada di dalam kandungan) dan merupakan upacara manusa yadnya pertama sejak menjadi manusia. Secara umum hal ini diwujudkan dengan memohon penglukatan yang khusus untuk orang hamil.
silahkan baca: "Pantangan buat Suami bila Istrinya Hamil"
Upacara Magedong-gedongan (Garbha Wedana), secara rohaniah adalah suatu usaha pembersihan dan pemeliharaan atas keselamatan si anak dan ibunya. Yang disertai pula dengan suatu pengharapan, agar anak yang lahir kelak menjadi orang yang berguna di masyarakat, dan dapat memenuhi harapan orang tuanya.
Adapun upacara pagedong-gedongan itu pada pokoknya terdiri atas :
byakala, peras, daksina, ajuman, prayascita, pagedong-gedongan (gedong), sayut pengambean atau sesayut pemahayu tuwuh.
Pagedong-gedongan (gedong) itu sendiri, adalah:
sejenis sesajen yang berbentuk sebuah gedong (rumah-rumahan), yang didalamnya dimasukkan beberapa perlengkapan, seperti misalnya : beras, sebutir telur ayam, klungah nyuh gading, segulung benang, uang kepeng 225 butir, dilengkapi dengan beberapa jenis banten lainnya, seperti canang tubungan, dan beberapa jenis rempah-rempah.
Banten pagedong-gedongan ini merupakan simbolik dari perut ibu, yang menggambarkan si bayi beserta saudara-saudaranya (Sang Catur Sanak). Tujuan banten ini adalah mengandung arti simbolik, agar kandungan si ibu menjadi selamat, dan peliharaan keselamatan si bayi agar kuat nidasi, serta selamat ada dalam kandungan, dapat berproses dengan sempurna sampai pada saat kelahirannya nanti. Dan terakhir adalah upacara Ngelukat Bobotan. Upacara ini agak jarang dilakukan masyarakat. Namun, tetap saja saya tulis disini, karena masih berhubungan dengan bayi dalam kandungan.
kata Ngelukat Bobotan itu mengandung pengertian, peleburan segala dosa, dan korotan (ngelukat) dari kandungan (bobotan) seorang ibu. Jadi upacara Ngelukat-Bobotan ini, adalah suatu upacara yang bertujuan melenyapkan atau melebur segala noda kotoran (leteh) suatu kandungan dengan sarana bebantenan, sesajen. Adapun sesajen (banten) yang digunakan dalam upacara ngelukat bobotan ini, antara lain yang terpenting adalah :
air (tirta) penglukatan, canang, peras, daksina, lis, isuh-isuh, serta banten penglukatan di paon (dapur), biasanya berupa peras pengambeyan. Di haturkan kehadapan Bhatara Brahma, agar beliau berkenan untuk melebur kotoran, leteh si ibu hamil.
Pengelukatan tersebut secara rohaniah dianggap mengandung suatu mujijat, yang dapat melebur atau melenyapkan segala noda kotoran, yang mungkin masih melekat pada ibu yang sedan mengandung. Dengan demikian, diharapkan agar ibu yang mengandung beserta bayinya itu menjadi bersih dan suci.
Sekarang, perhatikanlah mantra yang biasa digunakan oleh para pendeta, untuk memuja Tirtha penglukatan tersebut :
“Om Sang Hyang Ayu munggah pritiwi, pritiwi melomba-lomba, angebeking bwana, om pengelukatan dacamala, kalukat metu sira anadi dewa, kalukat metu anadi bhujangga, kalukat metu sira anadi jadma manusa, kalukat mameneng kapanggih sukha sugih, saisining rat bwana kabeh, sapangangoning bumi, kelod kauh yeh minagaken, sudha dewa, sudamanusa. Om sa ba ta a i na ma si wa ya”.
Dari makna mantra tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa, tujuannya adalah memohon keselamatan dan kesucian agar ibu beserta bayinya menjadi selamat, dan bersih lahir batin. Ucapan mantra itu mengandung pengertian dan pengharapan, agar ibu dan bayi yang dikandungnya itu mempunyai sifat-sifat Dewa (kebaikan), Bhujangga (orang yang memiliki ilmu pengetahuan, sastra dan ilmu agama), dan juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Disamping juga bertujuan agar hidupnya nanti memperoleh kesenangan, kekayaan, dengan berbagai isi dunia dan lain-lainnya.
Upacara Ngelukat bobotan ini biasanya dilakukan bila suatu kehamilan itu mengenai wuku wayang, khususnya Tumpek wayang. Karena hariyang berwuku wayang di anggap sebagai hari yang jelek, kotor, leteh. Dan merupakan hari (wuku)nya Bhuta Kala, yang mempunyai pengaruh-pengaruh negative terhadap kehidupan manusia di Dunia.
Tata Upacara pelaksanaan Magedong-gedongan
Bila upakaranya terkecil, maka upacara dilaksanakan ditempat sulinggih Nyurya-Sewana, kemudian setelah sampai dirumah bersembahyang di merajan/sanggah kemulan dan mohon wangsuh-pada sebagaimana biasa.Bila upakaranya lebih besar (Nista dan madya) maka selain memohon penglukatan pada hari sabtu keliwon uku wayang (Tumpek wayang), dimohonkan pula penglukatan disungai yang besar atau pancoran dengan pembuangan air yang deras dengan susuanan acara sebagai berikut:
- Orang yang hamil diantar kesungai atau pancuran bertongkat bungbung (seruas bambu yang telah dibuang ruasnya), diikat dengan benang satu “tukel” ujung benang dipegang oleh suami. Ada juga yang membuat permandian sementara dirumah dan perjalannya diwujudkan dengan mengelilingi tempat tersebut.
- Sesampainya di permandian, terlebih dahulu menghanturkan banten persaksian/ atur uning disertai menghaturkan pengresikan diteruskan kepada yang hamil.
- Selanjutnya orang yang hamil disuruh mandi, mencuci rambut dann selama mandi tetap menggunakan pakaian.
- Setelah selesai lalu berganti baju dilanjutkan dengan bersembahyangan diakhiri dengan penglukatan.
- Priyuk untuk memohon penglukatan seperti diatas demikian pula perlengkapan (bunga dll) yang ada di dalamnya. Ada juga menggunakan sangku sudamala.
- Seusai melukat di permandian, lalu kembali kerumah (bertongkat bungbung) untuk mebyakala dan meprayascita di halaman rumah atau dihalaman merajan/ sanggah sesuai kebiasaan, dilanjutkan bersembahyang dimerajan sesuai dengan petunjuk pimpinan upacara.Menurut lontar kuno Drsti hanya si suami yang bersembahyang sedangka si istri/ orang yang hamil duduk di sebelahnya.
- Setelah itu lalu mejaya-jaya, serta ngayab/natab banten pagedongan dan tataban. Upacara ini dilaksanakan dikamar tidur orang yang hamildan banten “pagedongan” dibiarkan sampai lewat tiga hari, sedangkan yang lain boleh diambil pada hari itu. khususnya bangunan pagedongan dengan klungah nyuh gading, segulung benang, uang kepeng 225 butir, dilengkapi dengan beberapa jenis banten lainnya, seperti canang tubungan, dan beberapa jenis rempah-rempah dibiarkan dikamar istri hingga mau melakirkan. dan saat "nyakit" bukaan akan melahirkan, untuk mempercepat proses melahirkan, klungah nyuh gading tersebut di kasturi, diminum airnya, bila isinya sudah kering, isi dengan tirtha, kemudian tirtha tersebut diminumkan kepada sang ibu.