Notifikasi

Memuat…

Pura Gunung Rawung di Desa Taro





Pura Gunung Rawung, terletak di Desa Taro yaitu di antara Banjar Taro Kaja dan Banjar Taro Kelod. Pura itu sekaligus merupakan perbatasan dari ke dua banjar tersebut, yang termasuk wilayah Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar. Jaraknya kurang lebih 35 km dari kota Gianyar.

Keadaan alamnya adalah suasana pedesaan, dimana di sebelah utara dan selatan dari Pura tersebut terdapat perumahan penduduk, sedangkan di sebelah barat dan timurnya terdapat hutan-hutan kecil. Desa Taro juga terletak di antara dua buah aliran sungai, yaitu Sungai Wos dan Sungai Ayung.
Perlu juga diketahui pada saat penelitian (tahun 1978), penduduk Desa (Perbekelan) Taro, terdiri dari 14 banjar : Banjar Taro Kaja, Banjar Taro Kelod, Banjar Pakuseba, Banjar Tatag, Banjar Ked, Banjar Belong, Banjar Patas, Banjar Pisang Kaja, Banjar Pisang Kelod, Banjar Let, Banjar Tebuana, Banjar Pakuana, Banjar Sengkaduan dan Banjar Alas Pujung. Setiap Banjar mempunyai adat istiadat sendiri-sendiri yang dianut dan ditaati oleh anggota banjar masing-masing. Walaupun Desa Taro terdiri dari 14 Banjar, akan tetapi Pura Gunung Rawung yang terletak di desa tersebut, hanya diempon oleh Banjar Taro Kaja, sedangkan banjar-banjar yang lain hanya sebagai penyiwi.

Pada umumnya tata letak Pura-Pura yang terdapat pada suatu Desa Kuna di Bali, bertempat di hulu dan di hilir dari desa tersebut. Oleh karena itu dengan melihat letak/lokasi dari Pura Gunung Rawung yang terdapat di Desa Taro, yaitu terletak di sebelah hilir dari Banjar Taro Kaja, sedangkan di sebelah hulunya terdapat Pura Desa, maka dapatlah dikatakan bahwa Banjar Taro Kaja (Desa Taro) adalah tergolong desa Kuna di Bali. Keadaan ini bukanlah suatu kebetulan saja, melainkan mempunyai arti filosofis yang merupakan penterapan dari konsepsi Rwa Bhineda.

Sejarah

Untuk membicarakan riwayat berdirinya Pura Gunung Rawung, salah satu sumber yakni Bhuwana Tattwa Rsi Markandeya, dalam pustaka itu disebutkan : perjalanan suci seorang Maharsi yaitu Rsi Markandeya, atau Dharmayatra beliau dari Jawa ke Bali.

Pada mulanya Rsi Markandeya berasal dari pertapaan di Gunung Damalung (Jawa Timur), kemudian beliau pergi ke arah timur untuk menuju Gunung Hyang, dengan maksud mencari pertapaan yang lebih tenang. Akan tetapi di Gunung Hyang beliau tidak mendapatkan pertapaan yang tenang, lalu melanjutkan ke timur lagi, maka sampailah di Gunung Rawung Jawa Timur, beberapa saat beliau ada di Gunung Rawung, maka dalam tapanya beliau mendapatkan wahyu, agar beliau pergi ke timur yakni mencari Gunung Agung, yang disebut juga dengan Wukir Raja (Tohlangkir).

Setelah mendapat wahyu beliau berangkat ke Gunung Agung, dengan sisyanya sebanyak 800 orang. Tiada lama beliau tinggal di Gunung Agung dengan merabas hutan, tetapi para sisyanya mendapatkan musibah yang luar biasa, banyak mereka sakit dan meninggal. Maka itulah beliau yang sebagai pemimpinnya, memutuskan untuk kembali ke Pulau Jawa, untuk memohon petunjuk melalui samadhi. Dari hasil samadhinya, ada sabda anugrah bahwa pada saat datang pertama kali, dengan merabas hutan, tidak menghaturkan upacara.
Setelah mendapatkan petunjuk dari hasil samadhinya, maka beliau mulai menyiapkan peralatan dan mengumpulkan sisyanya, untuk datang kembali ke Gunung Agung. Pengikut beliau dinamakan Wong Aga. Tiada berselang lama sampailah beliau dengan sisyanya di lereng Gunung Agung, tepatnya di Basukihan, di tempat ini beliau membuat pangasraman. Suatu ketika sebelum rombongannya melakukan aktivitas, maka beliau mempersembahkan upacara selamatan (Mapadagingan Panca Dhatu).

Setelah itu beliau dengan sungguh hati-hati dan terus merabas hutan, untuk membuat pondok-pondok, sawah dan panegalan. Pada suatu saat dalam perabasan hutan di suatu tempat, yaitu permulaan pembagian tanah. Tempat itu dinamakan Desa Puwakan dan sekarang Desa Puakan, selanjutnya rombongan berpindah lagi sampailah di suatu tempat, di sinilah beliau tinggal agak lama dan membuat sawah dan dapat menghasilkan dengan baik karena daerahnya subur, tempat ini diberi nama Sarwada (serba ada).
Setelah rakyatnya cukup aman, maka mulailah beliau mendirikan asrama (perguruan), pemujaan Hyang (Pura), yang mirip dengan pangasraman beliau di Jawa, oleh sebab itulah Pura yang didirikan itu diberi nama, sesuai dengan asal beliau (Gunung Rawung di Jawa Timur), pemujaan di Bali ini juga diberi nama Pura Gunung Rawung, tempat sekitarnya diberi nama Taru/Taro (hidup yang cemerlang), sekarang dikenal dengan Desa Taro.

Yang amat menarik di Desa Taro ada sapi putih, yang menurut ceritra dibawa oleh pengikut beliau dari Jawa Timur. Sapi itu amat disucikan, jika ada upacara besar/utama khususnya di Besakih, pada upacara Mamineh Empehan, sapi ini dibawa ke Besakih. Apakah hal ini tidak merupakan Nandini sebagai wahana (kendaraan Dewa Siwa) ?

Demikian juga mengenai nama Pura itu masyarakat setempat sering menyebut Pura Agung. Apakah yang dimaksud Gunung Agung ? Rupa-rupanya mengandung nilai petunjuk bahwa Rsi Markadeya bersama dengan sisyanya, tempat yang dituju pertama adalah Gunung Agung.
Disamping itu Pura Gunung Rawung adalah Pura Kuna, yang mempunyai Gapura 4 buah, sebagai lambang pemujaan Dewa Catur Lokapala.

Piodalan

Setiap Pura mempunyai hari piodalan, ada yang 12 bulan/1 tahun sekali dan ada juga yang setiap 6 bulan sekali. Untuk Pura Gunung Rawung piodalannya setiap 6 bulan (Bali), yaitu Buda Kliwon Ugu. Pelaksanaan upacara yang dipimpin oleh prajuru desa, yakni adanya : Bendesa Adat, sebagai pimpinan umum; Pamangku, sebagai pemimpin upacara; Kubayan, yang mempersiapkan upakara dan Panyarikan, sebagai juru surat (tulis).

Kesimpulan

Pura Gunung Rawung disebut juga dengan Pura Agung, yang terletak di wilayah Banjar Taro Kaja, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar.
Keberadaan Pura Gunung Rawung di Desa Taro, dikaitkan dengan kedatangan Rsi Markandeya ke Bali, dalam periode yang ke dua.
Adanya sapi putih yang disucikan, sebagai lambang wahana/kendaraan Dewa. Jika dihubungkan dengan Nandini yang merupakan wahana Siwa, maka Pura Gunung Rawung adalah mengikuti konsepsi Siwaistis.
Pura Gunung Rawung mempunyai kekhususan, yakni mempunyai 4 pintu masuk, yang amat jarang terdapat di Pura-Pura di Bali.
Hari Piodalannya adalah Buda Kliwon Ugu, yang datangnya setiap 210 hari (6 bulan Bali



Baca Juga
Posting Komentar