Makna Tajen dalam Budaya Bali
Acara tajen dari segi budaya Bali, bukan sekedar selingan, di situ ada proses pembangunan ayam jago, ada juga norma, dan ketentuan dalam beradu jago yang harus ditaati. Tajen adalah satu gelaran perlihatkan pertempuran ayam jago dengan mengikatkan taji pada salah satunya kakinya.
Etikanya tercantum pada lontar Pengayam-ayaman. Jika ayam dengan warna bulu spesifik seharusnya bertanding dengan ayam warna apa, bergantung arah posisi, waktu dan tipe taji yang dipakai waktu bertanding.
Ini memperlihatkan jika memiara ayam pengaduan bukan kasus gampang, ada proses yang harus dilewati oleh sang ayam jago. Oleh karenanya, beberapa fans tajen umumnya memiara ayam pengaduan lumayan banyak dengan bermacam warna bulunya. Bahkan juga ada yang punyai petugas spesial perawatan ayam jago yang disebutkan juru kurung.
Jadi, dalam membuat satu ekor ayam jadi ayam pengaduan harus lewat penyeleksian dan perawatan yang ketat. Selanjutnya, saat pada acara tajen, ada beberapa aturan spesifik terhitung tata bajunya, baik pemilik ayam yang akan dilagakan, untuk pemirsa, yang jika ada kesempatan mereka akan bertaruh. Tidak sembarangan orang bisa masuk di ajang tajen. Karenanya, ajang tajen juga dipastikan tempatnya, dan ada petugas spesial (seperti pakembar) dengan piranti pendukungnya. Beberapa hal beginilah yang membuat watak orang Bali di masa lampau.
Masalahnya ialah saat ada elemen taruhan dalam tajen itu. Pengertian dari permainan yang dikelompokkan selaku judi ditata dalam Pasal 303 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dari ketetapan KUHP itu bisa kita saksikan jika dalam permainan judi, ada elemen semua spekulasi dan keuntungan yang tergantung pada keberuntungan atau kelihaian/kecerdasan pemain. Jika beberapa unsur itu tercukupi pada acara tajen itu, karena itu tajen bisa digolongkan selaku ajang perjudian, dan ini sudah pasti menyalahi KUHP.
Ditambah dengan acara tajen saat ini, benar-benar jauh perbedaannya dengan acara tajen dahulu, sekarang orang ke tajen cuman bawa uang, membeli ayam pengaduan dalam tempat tajen, atau cuman untuk bertaruh, yang penting dapat bertaruh. Jika menang tiba-tiba kaya, jika kalah, jangankan uang sekolah anak, uang dapur juga jadi taruhan. Sikap semacam ini, oleh warga Bali dikatakan sebagai momotoh. Tujuannya, yang ditaruhkan itu ialah momo-nya (mengikuti gairah serakahnya).
Sedang mereka yang bertaruh dengan mempertimbangkan bermacam faktor, berarti merujuk pada lontar Pengayam-ayaman, disebutkan dengan bobotoh. Tujuannya, yang ditaruhkan itu ialah bobot-nya (faktor kualitas dan substansi pertempurannya). Untuk mereka yang memainkan ambek bobotoh, tidak sembarangan bertaruh walau punyai uang. Sebab bermacam faktor alasan itu, terkadang sampai acara tajen usai juga ia tidak bertaruh. Jadi, acara tajen adalah gelaran latihan pengaturan diri yang mengagumkan. Pada point ini, apa saja faktanya, sebab ada elemen taruhan (toh) karena itu jelas sudah masuk ke perjudian.
Pada bagian lain, ada juga sabungan ayam dalam hubungannya dengan upacara keagamaan, yaitu acara tabuh rah. Yang diartikan dengan "Tabuh rah ialah taburan darah binatang korban yang dikerjakan dalam serangkaian upacara agama (yadnya). Diselenggarakan pada tempat dan saat upacara berjalan oleh sang Yajamana.
Tabuh Rah berbentuk perangsata ialah satu dresta yang berlaku dalam masyarakat, yang pada intinya bisa ditukar dengan penyambleh. Perang sata ialah pertempuran ayam yang diselenggarakan dalam serangkaian upacara agama (yadnya). Dalam masalah ini yang digunakan ialah ayam sabungan, dikerjakan tiga set (telungperahatan) yang memiliki kandungan makna magic bilangan tiga yaitu selaku simbol dari permulaan tengah dan akhir.
Perang ialah lambang perjuangan (Galungan) di antara dharma dengan adharma. Di saat perang sata diikutkan toh-dedamping yang maknanya selaku pengakuan atau perwujudan dari ketulusan Sang Yajamana beryadnya, dan bukan memiliki motif judi." Tentang hal sumber referensinya berbentuk prasasti yaitu: Prasasti Sukawana A1 804 Caka; Prasasti Batur Abang A 933 Caka; Prasasti Bebatuan 944 Caka. Sedang yang berbentuk lontar, ialah: Siwatattwapurana dan Yadnyaprakerti. (Sumber: http://www.babadbali.com/).
Dari paparan itu, jelaslah perbedaannya di antara tajen dengan tabuh rah. Bedanya, jika tajen adalah pertunjukan selingan, sedang tabuh rah (perang sata) adalah pertunjukan selaku sisi dari ritus keagamaan (yadnya). Ke-2 nya mempunyai elemen taruhan (toh). Jika tajen dengan bobotoh-nya ialah wujud animo pada kualitas dan keunggulan ayam pengaduannya. Sedang perang sata dengan toh-dedamping sebagai bentuk bhakti dalam beryadnya. Ke-2 acara itu terhitung dalam kelompok pertunjukan budaya tradisionil Bali, yang mempunyai landasan referensi, ke-2 nya sudah berjalan lama dan diwarisi secara turun-temurun.
Selanjutnya ada usaha memberi payung hukum dalam melestarikan pertunjukan dan acara budaya tradisionil Bali terhitung tajen. Ini pasti memunculkan kesan-kesan seakan-akan melegalkan perjudian. Oleh karenanya, dibutuhkan jalan keluar yang pas untuk mengatasinya. Hingga acara tajen selaku peninggalan budaya Bali bisa terwujud tanpa elemen perjudian. Misalkan, bagaimana jika pertunjukan tajen tradisionil itu diadakan selaku acara selingan semata-mata, seperti perang sata. Jika elemen taruhannya (toh) ditiadakan, dan keuntungan yang didapatkan tidak dari pertunjukan itu, tapi dari ticket masuk dan sponsor.
Acara unik ini mungkin akan tarik pelancong yang tertarik. Bisa jadi, dengan cara itu, tajen beralih menjadi acara tradisionil Bali. Tetapi, pasti susah jamin raibnya elemen perjudian itu. Kemungkinan pemantauan dapat dikerjakan dalam tiap aktivitas acaranya. Tapi orang pasti bisa bertaruh dengan beberapa cara lain. Seperti perjudian dalam olah raga tinju dan sepak bola. Benar-benar perjudian susah dibasmi, tapi jangan didiamkan, harus ditindak keras.
Bagaimana juga, perlu diakui jika yang namanya psikis penjudi, walau tiada tajen, tiada laga tinju, dan sepak bola, ada-ada saja medium yang lain untuk taruhan. Perjudian ialah penyakit sosial dengan riwayat sejauh peradaban manusia, satu dari 3M (main, madat, dan madon). Walau dalam kisahnya, tak pernah ada orang hidup sejahtera dengan taruhan. Penyakit ini tidak ada obatnya terkecuali atas kesadaran dari aktornya sendiri. Orang seharusnya mengetahui jika arah hidup di bumi ini bukan hanya kehidupan duniawi.
Seperti (alam agama Hindu ada tuntunan yang diketahui dengan Catur Purusa Artha, berarti empat arah hidup selaku manusia. Dipastikan dalam Brahma Purana (228,45) jika, "Dharma, artha, kama, moksana sarira sadhanam. "Jika, tubuh yang disebutkan sarira ini cuman bisa dipakai selaku alat untuk capai Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Walau selaku alat, tentu saja harus dirawat dan dijaga supaya masih imbang. Karena, tiap tindakan manusia pasti jadi pahala dalam karmanya. Oleh karenanya, semua dibalikkan ke masing-masing pribadi, "Apa yang jadi tujuan hidup telah sesuai dengan tuntunan agamanya?"