Notifikasi

Memuat…

Mengenal Arti Dan Makna Tumpek Wayang

 Upacara Tumpek Wayang jatuh tiap enam bulan (210 hari) sekali menurut kalender Bali jatuh pada Hari Sabtu / Saniscara Kliwon Wuku Wayang. Menurut adat di Bali, seorang anak yang lahir di Wuku Wayang harus melukat dengan Tirta Wayang Sapuh Leger. Tumpek wayang kuat hubungannya dengan narasi Rare Kumara yang pengin dikonsumsi oleh Batara Saat, sebab Rare Kumara lahir bersamaan dengan Wuku Wayang.

Dalam Narasi Wayang Lakon Sapu Leger, dikisahkan Dewa Saat akan mengonsumsi semua yang lahir di wuku wayang (menurut kalender Bali) atau yang berjalan tengah hari pas wuku wayang. Atas panduan ayahandanya Dewa Siwa, Dewa Saat mengenali jika Dewa Rare Kumara putra bungsu dari Dewa Siwa lahir di wuku wayang.

Dalam satu hari bersamaan pada wuku wayang, Dewa Rare Kumara dikejar oleh Dewa Saat akan dimakannya. Dewa Rare Kumara lari ke sana kemari menghindari dianya dari tangkapan Dewa Saat. Saat sedang hari pas, dan pada kondisi terengah-engah kelelahan Dewa Rare Kumara hampir ketangkap Bhatara Saat jika tidak dirintangi oleh Dewa Siwa. Oleh sebab dirintangi oleh Dewa Siwa karena itu Dewa Saat akan mengonsumsi ayahandanya. Ini dikarenakan oleh Dewa Siwa berjalan tengah hari pas dalam wuku wayang.

Dikisahkan seterusnya, Dewa Siwa ikhlas dikonsumsi oleh putranya Dewa Saat, dengan persyaratan Bhatara Saat bisa menterjemahkan dan menebak ini serangkuman sloka yang disampaikan Dewa Siwa. Bunyi sloka itu ialah :

Om asta pada sad lungayan,

Catur puto dwi puruso,

Eko bhago muka enggul,

Dwi crengi sapto locanam

Dewa Saat selekasnya menterjemahkan sloka itu dan menebak tujuannya ;

Om asta pada, Dewa Siwa berkeadaan kaki delapan, yakni kaki Dewa Siwa enam kaki Dewi Uma dua, semua delapan,

Sad Lungayan, tangan enam yakni tangan Dewa Siwa empat, tangan Dewi Uma dua semua enam,

Catur puto, buah kelamin lelaki empat, yakni buah kelamin Dewa Siwa Dua, buah kelamin lembu dua,semua empat,

Dwi puruso, dua kelamin lelaki, yakni kelamin Dewa Siwa satu, kelamin lembu satu, semua dua,

Eka bhago, satu kelamin wanita yakni kelamin Dewi Uma,

Dwi crengi dua sundul yakni sundul lembu,

Sapto locanam, tujuh mata yakni mata Dewa Siwa dua, mata Dewi Uma dua, mata lembu dua, yakni cuman enam mata tidak tujuh

Dewa Siwa bersabda mataku tiga (Tri Netra) antara keningku ada satu mata kembali, mata gaib yang bisa menyaksikan semua alam ditutup dengan cudamani. Pada akhirnya Dewa Saat tidak bisa menebak dengan prima ini sloka itu, tambahan juga matahari cenderung kebarat, karena itu Dewa Saat tidak memiliki hak mengonsumsi Dewa Siwa ayahandanya.

Karenanya Dewa Saat melanjutkan pemburuan ke Dewa Rare Kumara yang sudah jauh larinya masuk di halaman beberapa rumah orang. Pada akhirnya, saat malam hari berjumpa dengan seorang dalang yang lagi melangsungkan atraksi wayang, Rare Kumara masuk di bumbung (pembuluh bambu) gender wayang (musik wayang) dan Dewa Saat mengonsumsi sesajen wayang itu.

Oleh karenanya, Ki Mangku Dalang menasihati Dewa Kala supaya jangan melanjutkan tujuannya akan mengonsumsi Dewa Rare Kumara, sebab Dewa Saat sudah mengonsumsi sesajen wayang itu selaku pelunasannya. Dewa Saat tidak akan berdaya meneruskan pemburuannya, hingga Dewa Rare Kumara pada akhirnya selamat.

Dengan begitu diceritakan Dewa Rare Kumara selaku mitologi jika anak yang lahir di hari yang bersamaan dengan Wuku Wayang dipandang anak sukerta dan bisa menjadi makanan Bhatara Saat, karenanya anak berkaitan harus dilukat dengan tirta Wayang Sapuleger.

Dalam tuntunan agama Hindu ada tiga pelukisan karakter manusia yakni karakter satwam,karakter rajas dan karakter tamas. Ke-3 karakter itu ada pada diri manusia. Cuman sebagai titik persoalan, dari ke-3 karakter itu, karakter yang mana lebih ditonjolkan dalam diri manusia. Bila karakter satwam yang ditinjolkan karena itu karakter Dewa Rare Kumara yang lebih menguasai diperlihatkan, di mana karakter Dewa Rare Kumara sarat dengan karakter welas asih, senang membantu dan pengasih, hingga Dewa Rare Kumara jadi satu kepercayaan dan keyakinan untuk wanita Bali yang memiliki anak kecil, jika Dewa Rare Kumaralah yang menolong dan memiara anak mereka.

Ini bisa ditunjukkan adanya Pelangkiran (tempat suci yang dibuat dari kayu) selaku tempat memuja Dewa Rare Kumara, ditaruh di ruang tidur sang anak. Begitupun kebalikannya, bila karakter rajas dan tamas yang lebih menguasai dalam diri manusia karena itu karakter Dewa Saat yang akan diperlihatkan hingga condong akan memiliki sifat arogan, rakus dan egoisme.

Di dalam narasi sapuh leger diutarakan Betara Saat cuman sanggup menerka dari tubuh fisik Dewa Siwa, seperti kaki beliau, tangan beliau, alat kelamin beliau dan lain-lain. Namun, Dewa Saat tidak sanggup menerka mata ke-3 dari Dewa Siwa.

Jika kita riset kembali lagi narasi sapuleger jika Dewa Saat cuman sanggup menyaksikan tubuh fisik dari Dewa Siwa, tapi tidak sanggup menyaksikan dunia yang berada di luar kemampuan diri manusia atau kemampuan Tuhan. Sama seperti dengan manusia yang dikuasai oleh kemauan dan nafsu ia cuman sanggup menyaksikan alam sekala (alam riil) tapi tidak sanggup menyaksikan alam niskala (alam maya).

Baca Juga
Posting Komentar