PURA BUKIT SARI SANGEH
Perawatan rimba pala di Dusun Sangeh itu tidak dapat lupakan layanan I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, dengan gelar Cokorda Sakti Blambangan. Putra angkat Raja Mengwi pertama ini mendapati puing-puing pelinggih penyembahan di tengah-tengah rimba pala itu. Dari penemuan putra angkat beliau, Raja memerintah membuat kembali lagi pelinggih itu dalam bentuk lebih komplet serta lebih besar. Pura itu saat ini disebutkan Pura Bukit Sari. Mengapa disebutkan Pura Bukit Sari?
Raja kelihatannya benar-benar memahami akan sikap hidup orang Bali yakni tiap mengawali suatu hal yang bagus terus dengan diawali lakukan penyembahan. Demikian Raja Mengwi pertama ini ajak umat merehabilitasi tempat penyembahan di rimba pala itu selaku langkah pertama untuk lakukan pelindungan dan perawatan rimba pala itu selaku sumber alam yang mahapenting.
Dalam Canakya Nitisastra XIII.21 dipastikan jika di bumi ini ada tiga Ratna Permata yakni air, beberapa tumbuhan bahan makanan dan beberapa obat, dan kalimat arif. Air akan terawat jika ada teritori rimba yang terawat dan terlindung dengan sebagus-baiknya. Dengan disimpannya air lewat rimba yang lestari karena itu beberapa tumbuhan bahan makanan dan beberapa obat bisa ditingkatkan dengan sebagus-baiknya.
Rimba sama air dan beberapa tumbuhan itu bisa menjadi sumber kehidupan umat manusia jika diatur dengan kalimat arif. Ini akan diwujudkan jika pimpinan seperti raja atau pemegang kekuasaan dalam pemerintah itu bekerja secara terkoordinasi untuk membuat kolaborasi dalam jaga tiga Ratna Permata Bumi itu.
Rupanya kebijakan raja membuat kembali lagi tempat penyembahan yang disebutkan Pura Bukit Sari di rimba pala Dusun Sangeh itu memunculkan imbas positif memajukan sikap hidup warga memiara dan meningkatkan rimba pala dengan sebagus-baiknya.
Rimba pohon pala itu bukan saja berperan selaku rimba dalam makna yang luas, saat ini rimba itu jadi salah satunya tempat wisata alam yang memberi banyak kesejahteraan pada bermacam faksi. Lestarinya rimba pohon pala ini sebab kebijakan Raja Mengwi bersama-sama dengan warga mengakibatkan rimba pohon pala itu makin exist.
Dari jaman penjajahan Belanda sampai saat ini rimba ini diputuskan selaku cagar alam yang mengharuskan seluruh pihak membuat perlindungan, memiara dan meningkatkan ide-ide hidup yang benar dan baik lewat rimba pohon pala yang lestari itu. Sebab ada Pura Bukit Sari itu rimba pohon pala itu jadikan orang untuk menjauhi dari perlakuan yang tidak pantas pada rimba itu.
Sikap warga yang mensakralkan rimba pohon pala dengan keranya itu jadi positif sebab ada Pura Bukit Sari di rimba itu. Rimba pohon pala itu sekarang sudah jadi tempat wisata alam. Jadi keharusan kita selaku angkatan penerus jaga rimba itu bersama-sama dengan Pura Bukit Sarinya.
Kita sebaiknya sadar jika rimba dengan puranya itu penting kita menjaga lebih kuat dengan bermacam ketetapan sebab dinamika pariwisata saat ini memunculkan banyak bujukan supaya kita tidak lupa menggenggam pedoman hidup imbang di antara berbakti pada Tuhan, mengasihi alam dan berbakti pada sama-sama.
Dalam buku Pancawati, salah satunya kitab sastra Weda, mengatakan ada tiga tipe rimba yang harus dijaga keseimbangannya dan kelestariannya. Tiga tipe rimba itu ialah Maha Wana, Tapa Wana dan Sri Wana. Maha Wana itu ialah rimba lindung. Rimba ini harus betul-betul dijaga jumlah dan mutunya. Jika jumlah dan kualitas Maha Wana ini terusik, manusia akan alami kritis air, udara sehat dan bermacam sumber hidup alami yang lain. Ini harus diakui oleh seluruh pihak. Luas dan kualitas rimba lindung ini jangan benar-benar terganggu.
Tapa Wana ialah rimba cuman untuk tempat bertapa membuat kesucian diri. Di rimba ini cuman bisa ada beberapa tempat penyembahan yang dibuat demikian rupa tidak untuk menunjukkan bangunan pisiknya, hingga masih yang mencolok ialah hutannya yang rimbun, sejuk dan alami.
Sri Wana ialah rimba produksi untuk meningkatkan tanaman pangan. Sri Wana ini sebaiknya jangan ditingkatkan dengan tekad usaha yang terlalu berlebih memburu untung sampai mempertaruhkan kelestarian alam tersebut. Peningkatan Sri Wana janganlah sampai memunculkan ketidakadilan ekonomi. Seperti meningkatkan perkebunan dengan beberapa cara kapitalisme yang berambisi cari keuntungan tiada pikirkan faktor keuntungannya untuk kelestarian alam dan warga. Keperluan pariwisata akan bahan pangan barangkali ditingkatkan melalui Sri Wana, tapi keberadaannya janganlah sampai bikin rugi alam dan memunculkan ketidakadilan ekonomi rakyat.
Dalam adat umat Hindu di Bali telah diketahui ada beberapa macam rimba dan tempat yang harus dijaga kesetimbangan status dan proporsinya. Dalam adat Bali ada yang disebutkan alas menyeramkan yakni rimba lindung, Ada yang disebutkan alas wangi yakni rimba untuk tempat penyembahan atau pertapaan yang dibuat dengan masih jaga aspek alaminya. Ada pula alas rasmini yakni rimba selaku lajur hijau untuk permukiman, kemungkinan ini disebutkan rimba rekreasi. Ada area yang disebutkan abian dan carik utuk meningkatkan tanaman pangan yang diperlukan warga setiap hari.
Status dan formasi luas dan kualitas pembagian rimba dan area itu dijaga keseimbangannya dengan ide Rta dan Dharma. Selain itu wilayah Bali yang paling digemari oleh bermacam faksi harus terbatasi dengan bermacam langkah yang betul supaya Bali janganlah sampai kelebihan muatan. Jika Bali sampai kelebihan muatan seperti kapal yang akan karam ditelan gelombang usaha dan politik yang meremehkan norma kepribadian. Bermacam sikap harus terbatasi supaya jangan dengan Rta dan Dharma. Berarti, membuat Bali janganlah sampai menyalahi Rta dan Dharma. Sebab hal tersebut segera dapat menenggelamkan Bali seperti kapal yang begitu penuh dengan muatan. Bali harus dibuat dengan mengikut Rta dan Dharma ciptaan Hyang Widh
Pura Bukit Sari di Sangeh
Avir vai nama devata
rtena aste parivrta
tasya rupena ime vrksah
hrita haritasrajah.
(Atharvaveda.X.44.1).
Maksudnya:
Ada warna hijau pada daun beberapa tumbuhan (klorofil) yakni elemen yang selamatkan hidup yang ada di hijau daun. Dia tertutupi oleh rta. Karenanya zat warna hijau itu yang mengakibatkan beberapa tumbuhan bermanfaat obat.
Rimba pohon pala di Dusun Sangeh tidak dapat dipisah dengan kehadiran Pura Bukit Sari yang ada di tengah-tengah rimba pala itu. Kehadiran pohon pala ini sedikit unik. Sebab di seputar wilayah itu tidak ada pohon semacam itu.
Rimba pohon pala ini disebutkan Bukit Sari, walau sebenarnya wilayah di mana pohon pala itu tumbuh berbentuk daratan saja bukan bukit. Entahlah siapakah yang menamai pohon ini pohon pala. Kemungkinan tidak ada yang jelas tahu benar. Dengan bahasa Sansekerta kata "pala" berarti membuat perlindungan, sedang kata "phala" berarti buah.
Untuk mengatakan nama pohon di Pura Bukit Sari Sangeh ini apa pala atau phala, penulis sendiri tidak terang tahu asal-usulnya. Jika dipakai kata pala, benar-benar pohon besar dan tinggi-tinggi itu selaku pohon perlindungan. Akarnya dalam dan luas bisa menyerap dan simpan air hujan. Pohonnya yang besar tinggi dan teduh dengan daunnya yang hijau itu dapat membuat perlindungan udara dari pencemaran. Sebab dalam daun yang hijau itu ada elemen yang membuat perlindungan kehidupan disekelilingnya. Sejumlah partikel kimia yang beterbangan pada udara sebab tingkah manusia bisa disaring oleh hijauan dedaunan dari beberapa pohon di rimba pala itu. Banyak sebenarnya peranan rimba jika disaksikan dari pojok kehidupan di bumi ini.
Ada Pura Bukit Sari di rimba pohon pala Dusun Sangeh Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung ini dikisahkan secara mitologis dalam Lontar Babad Mengwi. Dikisahkan putri Ida Batara di Gunung Agung berkemauan untuk disungsung di Kerajaan Mengwi. Atas kehendak beliau karena itu rimba pala yang berada di Gunung Agung tempat putri Ida Batara Gunung Agung menetap berpindah secara misteri di saat malam.
Perjalanan belum sampai di Kerajaan Mengwi, kondisi telah siang dan teranjur ada yang mengenali perjalanan itu. Ini kabarnya yang mengakibatkan rimba pala itu tidak dapat berjalan kembali ke arah Mengwi dan stop di Dusun Sangeh saat ini. Kabarnya putra angkat Raja Mengwi yang pertama I Gusti Agung Putu yang bertitel Cokorda Sakti Blambangan mendapati sisa bangunan pelinggih.
Putra angkat Raja Mengwi itu namanya Anak Agung Ketut Karangasem. Atas penemuan itu Cokorda Sakti Blambangan memerintah untuk membuat kembali lagi pura itu dan dinamakan Pura Bukit Sari. Yang dipuji di pura itu ialah Ida Batara Gunung Agung dan Batara Melanting. Pura Besakih di lereng Gunung Agung itu termasuk Pura Purusa atau selaku jiwa dari Pulau Bali.
Di Gunung Agung-lah bermacam nilai suci tuntunan Weda divisualkan dalam bentuk bangunan suci. Bermacam ide hidup untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera lahir batin di bumi ini divisualkan dalam bentuk bangunan suci dan ritus keramat di Pura Besakih. Sedang penyembahan pada Ida Batara Melanting dalam adat Hindu di Bali selaku Dewa Pasar.
Menurut Prof Dr. I Made Titib, Ph.D., Batara Melanting itu tanpa lain panggilan untuk Dewi Laksmi untuk umat Hindu di Bali. Dewi Laksmi ialah Dewi Kemakmuran dalam mekanisme pantheon Hindu. Penyembahan Ida Batara Gunung Agung dan Batari Melanting di Pura Bukit Sari di Dusun Sangeh ini ialah mempunyai tujuan memuja Tuhan untuk memperoleh bimbingan religius dalam meningkatkan hidup yang sarat dengan ide-ide kehidupan yang mulia dan untuk membuat kehidupan yang makmur secara ekonomi.
Ini bermakna penyembahan pada Tuhan di Pura Bukit Sari itu memberikan ide kesetimbangan hidup di antara membuat ide hidup dengan nilai religius dalam merealisasikan kemakmuran ekonomi. Benar-benar sebenarnya kemakmuran ekonomi malah bisa menjadi bumerang untuk menggerakkan pengumbaran nafsu jika tidak dikontrol oleh ide-ide hidup di bagian religius.
Jika dua faktor kehidupan itu direalisasikan secara imbang maka terciptalah manusia dan warga yang imbang lahir batin. Jika manusia dan warga yang begitu menempati bumi ini, karena itu bumi ini bisa menjadi tempat kehidupan yang aman, nyaman dan sejahtra.
Di Pura Bukit Sari ini ada kurang dari 36 bangunan suci. Ada palinggih khusus dan ada pendamping. Ada Pelinggih Padmasari penyawangan Ulun Danu Beratan. Ada dua Padmasari selaku Pelinggih Ratu Pucuk Kangin dan Ratu Pucuk Kauh. Peluang pelinggih ini untuk penyawangan ke Gunung Agung dan ke Pura Batur atau Ratu Batara Melanting. Ada Pelinggih Meru Tumpang Sembilan. Ada Pelinggih Padmasana selaku penyembahan Batara Sada Siwa. Ada empat Padmasari kembali semasing selaku penyembahan Pucak Batur, selaku Pelinggih Ratu Entap, Ratu Manik Galih dan Batara Wisnu.
Penyembahan Tuhan dalam bermacam peranan ini biasanya ke arah pada penyembahan Tuhan selaku Dewa Kemakmuran. Ada Pelinggih Bale Paselang. Pelinggih ini biasanya dipakai untuk upacara Pedanaan yang memvisualisasikan jalinan manusia dengan Tuhan. Di pelinggih ini digambarkan secara ritus keramat jalinan bakti manusia ke Tuhan dan karunia Tuhan yang di Bali disebutkan sweca.
Di Pelinggih Paselang berikut digambarkan jika cuman manusia yang benar-benar bakti pada Tuhan akan memperoleh sweca atau karunia dari Tuhan berbentuk raksanam atau rasa damai dan aman dan dhanam berarti hidup sejahtera. Ini berarti pelinggih yang disebutkan Bale Paselang ini berikan motivasi umat Hindu supaya jangan cuman meminta wara nugraha Hyang Widhi tiada lakukan bakti dan servis pada sama-sama dan mengasihi isi alam ini.
Dengan bakti yang betul manusia bisa membuat susunan diri supaya jadi tempat pengejawantahan kesucian Atman dalam bentuk sikap riil di kehidupan setiap hari. Dengan bakti manusia bisa menghindari diri selaku tempat pengumbaran nafsu.
Mengenai beberapa ribu ekor kera yang dikeramatkan dan kehadirannya yang bergerak bebas di rimba pala, simpan cerita sendiri. Dogma yang berjalan menjelaskan jika kera-kera suci itu adalah penjelmaan beberapa dewa.
Temanan kera itu cukup jinak. Setiap pengunjung yang baru tiba kera-kera sakral itu terus berlaku ramah. Gesturnya sudah pasti dengan menggelayutkan dianya dibahu pengunjung. Berikut kurang lebih faktanya kenapa setiap pengunjung yang masuk teritori rekreasi itu tidak boleh untuk kenakan bermacam perhiasan, seperti cincin, kalung, anting dan bawa makanan dari beberapa benda yang lain kira-kira bisa mengundang perhatian kera-kera itu untuk menyentuhnya.
Bila accessories itu tidak ditangkap lebih dulu, diragukan akan dicomot si kera dan tidak dibalikkannya kembali. Bila sukses memperoleh suatu hal dari pengunjung, si kera umumnya bawa lari ke pohon yang hampir bersosok tinggi semua.
Kera akan berlaku jinak bila pengunjung perlakukannya dengan penuh kasih sayang. Jika tidak karena itu sebaliknya akan berlangsung. Si kera dapat geram dan melukai pengunjung. Dari beberapa ribu kera yang menempati rimba pala itu dipercaya ada satu ekor kera memiliki ukuran besar sebagai pimpinan kera-kera yang lain. Munculnya pimpinan ini jarang ada. Bila berlangsung, cuman di saat spesifik saja. Dan hadirnya terus ke Pura Bukit Sari Sangeh.