PURA DALEM BALINGKANG
REDITE Umanis Warigadian upacara piodalan di Pura Dalam Balingkang, Dusun Pinggan, Kintamani, Bangli. Posisinya, dari Denpasar mengikut lajur Denpasar-Singaraja melalui Kintamani, dan di Pura Pucak Panulisan ke arah arah timur laut kurang lebih 15-20 km. Tempatnya benar-benar unik dikitari Sungai Melilit, yang dipandang seperti benteng khusus ke arah Kerajaan Balingkang. Bagaimana sebenarnya ihwal Pura Dalam Balingkang ini?
Dalam Prasasti Sukawana (Goris, 1954) disebutkan, Dusun Sukawana terserang hujan badai dan Keraton Jaya Pangus remuk, hingga jong les berpindah ke Balingkang. Kehadiran Pura Dalam Balingkang (PDB) selaku pura atau selaku Keraton Raja Bali Kuna terdaftar juga dalam "Pengeling-eling Dusun Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng" yang dikeluarkan oleh Raja Jaya Kasunu seputar era kesebelas. Dia terdaftar selaku nenek moyang Raja Jaya Pangus Harkajalancana.
Warga Bali saat ini terdiri jadi dua barisan khusus — Bali Mula (Aga) dan Bali Majapahit. Prof. Dr. I Gusti Bagus (alm.) dalam tulisannya "Kebudayaan Bali" (1979) menyebutkan, warga Bali Mula menempati wilayah pegunungan di Bali, sedang Bali Majapahit menempati wilayah daratan. Bahasanya juga berlainan, disebutkan "omong negari" dan "omong pojol" oleh warga Bali Mula.
Dua Permaisuri
Dalam kerangka PDB, nama balingkang berawal dari kata "bali + ing kang". Secara tuturan dan bukti tercatat, ini dihubungkan dengan pernikahan Raja Jaya Pangus Harkajalancana yang memerintah di tahun saka 1103-1191 atau 1181-1269 Masehi. Raja Jaya Pangus punyai dua permaisuri, Paduka Bhatari Sri Parameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Cacangkaja Cihna — (Cihna-Cina). Dalam narasi rakyat yang berkembang disebutkan, istri Cinanya namanya Kang Ci Wi, putri Tuan Subandar pedagang dari Cina. Karena itu dikombinasilah Bali-Ing-Kang jadi Balingkang.
Warga Bali Kuna di seputar Danau dan Gunung Batur terdaftar sangat susah ditundukkan oleh Raja Sri Kresna Kepakisan yang ditaruh oleh Maha Patih Gajah Mada. Sampai saat ini, mereka sangat susah dipengaruhi oleh budaya Hindu Majapahit. Sampai tahun 2006 ini, Pura Pucak Panarajon belum ingin memakai Ida Pedanda selaku Si Trini-nya, masih memakai Jro Mangku dan Jro Kebayan dengan upacara podgala atau mewinten pang solas.
Warga Bali Mula di seputar Danau Batur menyebutkan dianya dengan Gebog Domas (Barisan Delapan Ratus). Barisan ini dipisah jadi empat sisi Gebog Satak (Dua Ratus) Sukawana, Kintamani, Selulung dan Bantang. Barisan ini mempunyai Tri Kahyangan yaitu
(1) Pura Pucak Panarajon selaku pusatnya berada di Sukawana, Kintamani, dengan 3 jenjang pura yang disebutkan Gunung Kahuripan. Jenjangnya, Pura Panarajon (Ida Bhatara Siwa Sakti), Pucak Panulisan (sejajar dengan pusat pemerintah — dahulu selaku keraton Raja Jaya Pangus), dan Pucak Wangun Hurip (lambang membuat kehidupan).
(2) Pura Bale Agung di Sukawana dengan Ida Bhatara Ratu Sakti Kentel Gumi, sama dengan Bhatara Brahma,
(3) Pura Pusering Jagat — Pura Puseh Panjingan di Dusun Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng, berstana Ida Ratu Sakti Pusering Jagat sama dengan Bhatara Wisnu, dan
(4) Pura Dalam Balingkang berstana Ida Dalam Kepogan (Dalam Balingkang) sama dengan Dewa Siwa.
Barisan Satak Sukawana terdiri dari beberapa dusun di Kecamatan Kintamani dan Tejakula, Buleleng. Selaku ikatan yang solid, Dusun Pinggan ditugaskan oleh Sukawana selaku kesinoman bawa surat ke barisan Tejakula. Di Sukawana banyak ada warisan tanah pelaba pura, dan di Balingkang ada 175 ha. Ternyata secara sembunyi-sembunyi ke-2 nya sama-sama kuasai tanah itu.
Pada 1960, Sukawana memberikan tugas Pinggan kirim surat ke barisan Buleleng Timur. Surat itu "diselinapkan" hingga seluruh masyarakat Buleleng tidak tahu ada upacara di Panarajon. Ini berjalan sampai 1963, hingga pada 1964 Sukawana malu memberikan tugas Pinggan. Pada akhirnya, barisan penyembah PDB pada 1964 yaitu Pinggan, Siakin, Tembok, Gretek Sambirenteng, Les-Penuktukan mengatakan keluar dari barisan Sukawana dan membuat barisan baru namanya Gebog Satak Balingkang.
Lalu, semenjak 1964 barisan penyembah Pura Pucak Bukit Indra Kila, Dusun Dausa, Kintamani melepas diri dari Pura Panarajon.
PDB yang dipuji barisan Gebog Satak Balingkang, dipuji oleh masyarakat di seputar Dusun Petak, Gianyar. Ini muncul karena ada jalinan bersejarah dengan keluarga Puri Petak Gianyar. Secara faktual, di khusus mandala sisi segi selatan ada kompleks bangunan pura komplet dengan sanggahr agung, meru 11 (tingkat 11), selaku penyembahan Ida Dalam Klungkung (Raja Klungkung) dan meru 9 (tingkat 9) selaku penyembahan pada Ida Dalam Bangli (Raja Bangli).
Menurut Ida Cokorda Dalam Balingkang dalam disertasinya di Surabaya pada 1989, menyebutkan mengenai kehadiran nenek moyangnya di PDB dan peranan meru 11 dan meru 9 di khusus mandala. Dikatakan, semuanya ada hubungan dengan waktu setelah penyerangan Panji Sakti ke Bintang Danu pada 1772. Saat itu, Dewa Agung Mayun Sudha ialah Raja Pejeng, Gianyar. Dia terserang oleh penguasa dari Puri Blahbatuh, Puri Peliatan, Puri Gianyar, dan Puri Ubud.
Sebab rivalnya banyak, pasukan Puri Pejeng tertekan. Dewa Agung Mayun Sudha yang berasa tertekan, bersama piluhan anak buahnya lari selamatkan diri menuju pegunungan. Kelompok ini bersembunyi di seputar PDB yang waktu itu bangunannya sudah terbakar, tinggal dasarnya saja. Bersama kelompoknya, Dewa Agung Mayun Sudha pimpin merabas rimba selebar 175 ha. Dia ajak masyarakat membuat kembali lagi PDB hingga pelan-pelan jadi komplet.
Sesudah puranya dibuat, diselenggarakanlah upacara dengan suport Raja Bangli dan Raja Klungkung. Pada akhirnya, jalinan Dewa Agung Mayun Sudha dengan Raja Bangli dan Raja Klungkung semakin baik. Satu hari, Dewa Agung Mayun Sudha meminta dana untuk Raja Bangli dan Klungkung akan merampas kembali lagi kerajaannya. Dianjurkan, supaya terserang Dusun Petak dahulu, selaku tempat bertumpu. Dengan kontribusi pasukan Raja Klungkung dan Bangli, Dusun Petak yang terdiri dari sepuluh desa bisa terkuasai, hingga Dewa Agung Mayun Sudha berkuasa di situ.
Untuk kenang kembali dan memuliakan Ida Bathara Dalam Balingkang, karena itu Dewa Agung Mayun Sudha bertitel Ida Cokorda Putra Dalam Balingkang. Hingga saat ini, keluarga Puri Petak jadi penyembah khusus di PDB, kecuali Gebok Satak Balingkang.
Susunan Pura
Susunan PDB terhitung unik, sebab dahulu kabarnya jadi istana raja yang menghindar gempuran raja yang lain. Dalam beberapa pustaka ada disebutkan, PDB selaku istana Raja Maya Danawa. Raja ini ditaklukkan oleh Bathara Indra dari Tampaksiring. Tetapi pada naskah lontar "Linaning Maya Danawa" diceritakan Maya Danawa mati terbunuh oleh Ki Kebo Parud — utusan Raja Kerta Negara yang menyerbu dari utara.
Dalam susunan PDB, pada awal ialah kompleks Pura Tanggun Titi — ujung jembatan dan ada sumber air. Di sumber air ini kerbau disucikan saat sebelum mepepada. Di kompleks Pura Tangun Titi ada penyembahan Ratu Ngurah Sakti Tanggun Titi, Ratu Mas Melanting, Ratu Sakti Gede Penyarikan, dan Si Hyang Haji Saraswati. Kompleks ke-2 sesudah melalui tanah lega yang dahulu digunakan membuat tempat pondokan, ada bangunan cangapit, yaitu pintu masuk yang diperlengkapi tempat duduk raja waktu melihat jro gede mepada melingkari pura.
Di jaba tengah, tidak banyak bangunan, cuman ada paruman agung, stana Ida Bhatara Sami, dan palinggih Ratu Ayu Subandar. Palinggih ini selaku penyembahan pada Kang Ci Wi dan ini sangat dipercaya oleh warga Cina bawa karunia. Di kompleks khusus atau dalaman, dibuat penyembahan Puri Agung Petak dengan meru 11 dan meru 9. dibuat penyembahan Dalam Balingkang dengan gedong bata dan meru 7 — ini mengingati pada Sapta Dewata. Ada juga bangunan balai panjang bertiang 24, bertiang 20, dan balai mundar-mundar bertiang 16 (dipisah empat segi, semasing bertiang 4).