PURA DALEM PASUNG GRIGIS
PURA DALEM PASUNG GRIGIS
Untuk Anda yang suka berekreasi religius, tidak ada kelirunya jika berkunjung Pura Dalam Pasung Grigis, Dusun Pakraman Tengkulak Kelod, Sukawati, Gianyar, Bali.
Di situ ada patung Ki Patih Pasung Grigis berpostur brewok dan memiliki rambut panjang yang lagi menghunus keris. Beliau didampingi satu ekor anjing ras Bali berbulu hitam legam.
Pura Dalam Pasung Grigis tidak jauh berbeda dengan tempat suci biasanya. Tetapi, yang membandingkannya sebab ada batu yang dipandang hidup yang dipercaya punyai tuah spesial, dan patung seorang patih sakti Ki Pasung Grigis.
Lupasir Pura Dalam Pasung Grigis, Made Sulendra tidak menyangkal memang benar-benar ada batu yang seakan hidup sebab ukuran lagi jadi membesar. Batu yang awalannya ditempatkan di Palinggih Padmasana semakin tahun jadi tidak muat sebab lagi berkembang. Pada akhirnya dibuatkan palinggih spesial untuk tempatkan batu yang dipandang hidup itu. "Batu yang awalannya ditempatkan pada Padmasana perlahan-lahan dari tahun ke tahun jadi besar, hingga tidak muat di Padmasana kembali. Saat saya SMP, batu itu masih kecil. Setelah waktu saya dewasa, jadi tidak muat sebab jadi membesar. Karena itu ditetapkanlah dibuatkan satu palinggih untuk batu itu," papar pria 55 tahun itu. Ditambahkannya, pratima yang berada di pura sempat diculik seputar sembilan tahun kemarin, hingga pangempon pura memilih untuk membuat suatu pratima kembali.
Sesudah peristiwa perampokan, sambungnya, krama pangempon pura, minta panduan di depan palinggih yang ada batu itu dengan sembahyang bersama. Satu hari kemudian, yang mengambil pratima bisa diamankan.
Sebab pratima yang telah diculik dipandang leteh (kotor), karena itu ditetapkan untuk bikin pratima yang baru kembali lagi. Pasti dengan nunas baos, dan minta panduan lebih dulu di gria," jelas Sulendra. Bahkan juga dia akui sempat menyaksikan beberapa anak ketawa waktu lakukan persembahyangan. Sesudah ditanyakan anak itu, mereka akui dibawa bergurau oleh dua patung yang ada depan gedong pratima. Sulendra kerap mendapatkan info, jika kramanya yang makemit ( menjaga malam) menyaksikan patung itu berbeda style."Kejadian semacam itu semakin memberikan keyakinan krama yang lain, jika rencangan di pura membuat perlindungan mereka selaku pangempon," katanya.
Kelihan Pura Dalam Pasung Grigis, Gusti Made Oka Wirawan menambah, terkadang ada yang sakit nunas ica di pura dan diberi berkah dapat pulih. Mereka kerjakan itu, sebab memperoleh panduan dari balian (dukun) tempat nunas baos atau minta panduan.
"Mereka yang di luar kabupaten, tiap piodalan tentu tiba kembali lagi kesini. Terutama untuk orang yang pulih sesudah matur piuning dan nunas tirta dari batu itu. Sebab mereka tidak ingin lupakan demikian saja saat sehat. Kecuali untuk menyampaikan terima kasih, menghaturkan bhakti," tutur pria 48 tahun itu. Hal aneh terkadang berlangsung masalah ambil gambar di teritori pura yang pujawalinya pada Anggara Kasih Medangsia ini. "Terkadang ada orang yang ambil photo patung Ki Pasung Grigis yang berada di jaba pura, tetapi gagal sebab sesudah dilihat di camera cuman terlihat hitam. Hal tersebut dapat muncul karena tujuannya buruk sebelumnya," jelasnya.
Oka Wirawan menambah, dengan rasa ketulusan dan dilandasi harapan bhakti waktu ambil photo tidak ada apa-apa. "Pasti dengan minta ijin lebih dulu, baik dari dalam hati atau menyampaikan langsung. Jika akan mendokumentasikan gambar yang berada di sana, dengan maksudnya baik," tuturnya.
Bila ada krama, sanggahr tari, instantsi pemerintah, bahkan juga seniman yang akan memainkan satu seni perlihatkan ambil topik Ki Pasung Grigis, harus hukumnya untuk nunas ica (meminta). Itu dikerjakan selaku bentuk minta ijin untuk memainkan dari keagungan patih itu. Kecuali minta tuntunan, minta taksu dan penugerahan supaya diberi berkah keselamatan dan kemudahan memainkannya.
" Bisa ditunjukkan bila tidak lakukan matur piuning lebih dulu akan alami bencana," tambah Sulendra.
Diutarakan Sulendra jika rencangan (penjaga gaib) yang berada di teritori pura kerap memperlihatkan diri. Tapi tidak ke seluruh orang. Cuman beberapa krama saja yang sempat menyaksikan. Sama seperti yang pernah dilihatnya ada satu asu (anjing) yang besar sekali, perwujudan orang yang besar sekali dan sangat tinggi.
Sulendra mengatakan, rencangan di situ senang usil, kadang patung yang berada di dalaman pura seperti ketawa dan bergerak. "Semuanya bukan saya mengada-ngada, tapi memang benar-benar ada demikian rupa. Karena yang dijahili itu ialah anak – anak yang melakukan persembahyangan. Hingga sampai saat ini ke-2 patung itu berada di dalaman pura, dan ditempatkan di muka gedong pratima," tuturnya.
Disebutkannya, yang malinggih (bersthana) di pura itu cuman satu pratima saja. Sedang sasuhunan berbentuk barong atau rangda cuman malinggih di Pura Dalam Khayangan Tiga, yang berdekatan dengan Pura Dalam Pasung Grigis.
"Dalam Pasung Grigis mempunyai satu pura Mrajapati dan satu setra, yang cuman dipakai oleh krama pangempon sejumlah 40 kepala keluarga," jelasnya.
Sulendra menjelaskan tidak ada satu soroh spesifik. Karena, sebagai krama pura, bukan dari 1 soroh saja. "Semua karma, walau wangsa dan sorohnya berlainan jadi satu selaku pangempon pura. Hingga, dalam penerapan upacara mereka sama-sama menolong keduanya," urainya.
Di area yang serupa, Penopang Pura Dalam Pasung Grigis, Made Mudana, merekomendasikan supaya umat matur piuning jika ada panggung seperti dan bertopik Pasung Grigis.
"Tiap yang terkait dengan Pasung Grigis harus dimulai matur piuning lebih dulu. Bila itu dilanggar, karena itu jalan aktivitas itu tetap akan memperoleh satu kendala. Bahkan juga mara bahaya yang akan didapat. Jangankan untuk bikin satu tarian, membuat patung saja tidak menghaturkan piuning lebih dulu akan berjalan penuh kendala," jelas pria asli Tengkulak Kelod itu.
Ditekankannya, satu patung yang berada di jaba pura tidak asal-asalan membuat. "Harus nunas baos lebih dulu, baik dari pawisik lewat mimpi, atau dari opini balian. Hingga memperoleh satu simpulan, dibolehkan membangun satu patung selaku perwujudan Patih Pasung Grigis komplet bawa satu keris, dan di sebelahnya ada satu ekor asu (anjing)," jelasnya.
Ki Pasung Grigis adalah Mahapatih pada Kerajaan Bedahulu, yang ada juga hubungannya dengan Karangbuncing. Untuk melakukan pekerjaannya, perjalanannya pada periode itu, Pasung Grigis terus dikawal asu atau anjing.
Berdasarkan Riwayat dan Budaya Bali, Ki Pasung Grigis ialah putra dari Sri Empu Indra Cakru yang berpasraman di Pucuk Bukit Gamongan (Lempuyang) dan jadi seorang patih mangkubumi yang gagah gagah di Kerajaan Bedahulu Bali, waktu Sri Tapolung (Astasura Ratna Bumi Banten) memegang selaku raja.
Sesudah jadi seorang patih mangkubumi, Ki Pasung Grigis pada akhirnya tinggal di Dusun Tengkulak dekat Istana Bedahulu, di mana Raja Astasura bersemayam, dan selaku pembantunya diangkatlah Ki Kebo Iwa alias Kebo Taruna yang tinggal di Dusun Belahbatuh.
Ki Pasung Grigis yang disebut adalah cucu dari Raja Masula Masuli dalam riwayat Dalam Gandalangu dikisahkan, sesudah pemerintah Kebo Parud, pemerintah di Bali kembali lagi digenggam oleh turunan dari raja-raja Bali kuna pada periode awalnya, yakni Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten yang berkuasa di Bedahulu, yang turunan dari Raja Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana.
Dengan begitu Ki Pasung Grigis dan Sri Asta Sura Bumi Banten masih mempunyai jalinan darah, yaitu sama prati sentana dari Raja Masula-Masuli.
Kesaktian, keberanian dan ketangkasan Pasung Grigis yang dapat maya-maya dalam cerita serangan Majapahit ke Bali, dikisahkan beliau benar-benar susah ditandingi hingga membuat Patih Gajah Mada resah.
Dalam satu malam, Gajah Mada sukses kumpulkan seluruh arya, terhitung Arya Damar yang sedang ada di samping utara gunung untuk dibawa membicarakan strategi perang mengalahkan Pasung Grigis yang paling kebal, sakti dan tidak tersakiti oleh senjata apa saja.
Sesudah diperkirakan usaha untuk serangan hadapi Pasung Grigis, karena itu esoknya seluruh pasukan Wilwatikta mulai angkat senjata, tapi seluruh arah senjata dibalik ke bawah, penanda jika prajurit sudah kalah. Demikian strategi peperangan Patih Gajah Mada. Sesudah Pasung Grigis menyaksikan prajurit Wilwatikta berserah, karena itu senanglah hatinya dan prajurit Bali Dwipa. Mereka tidak paham jika itu hanya strategi dibanding Patih Gajah Mada, hingga mereka lupa diri kerena diliputi rasa congkak, hingga bingung, arogan dan senang akan kesaktian dan kemampuannya sendiri.
Seluruh prajurit Wilwatikta bersandiwara mengaku kalah di muka prajurit Bali di bawah pimpinan Pasung Grigis.
Bahagialah Pasung Grigis, sesuai pembicaraan Pasung Grigis kembali pada Tengkulak sekalian berdandan tangan dengan Patih Gajah Mada disertai beberapa arya dari kedua pihak.
Setelah tiba di Tengkulak, lalu disuguhi makanan dan minuman yang memberikan kepuasan.Di kesempatan berikut Gajah Mada jalankan strateginya dan berbicara ke Pasung Grigis
"Kanda, sebab sudah jadi persyaratan semenjak dulu dan untuk melakukannya, apa kanda memiliki satu ekor anjing warna ulung dan pahami hati manusia? Minta Kanda mengikatnya sekaligus memberinya nasi." Demikian keinginan Gajah Mada. Begitu berbahagianya Pasung Grigis,yang tidak paham akan musibah yang akan menerpanya.
"Kami tidak ada rasa berprasangka buruk pada adikku Rakrian Mada," jawab Ki Pasung Grigis. Sekalian tersenyum, Ki Pasung Grigis mengikat anjing dalam keadan menggonggong, tetapi belum diberi makan. Walau begitu, bermakna sudah dipenuhi keinginan Rakrian Mada.
Berdirilah Rakrian Mada dengan muka merah padam sambil menunjuk Pasung Grigis dengan tangan, "Hai kamu Pasung Grigis, benar-benar arogan jiwa dan tingkahmu, tidak santun lakukan tindakan dan tidak pas akan janjimu, dan lakukan tindakan yang tidak betul, mudah-mudahan raib seluruh kesaktianmu, sebab sudah riil dan dilihat oleh Sanghyang Trio Dasa Sakti, saat ini bagaimana kehendakmu, maukah kembali lagi mengadu keprawiraan denganku. Angkatlah senjatamu!".
Dengar kalimat yang disampaikan Gajah Mada yang tidak tersangka itu, kagetlah Ki Pasung Grigis. Dan, semua kemampuannya kurang kuat seperti disapu bersih karena sumpah Gajah Mada. Lantas, Ki Pasung Grigis dengan suara berduka memberikan diri dan seluruh wilayah Bali sampai dataran Bangsul di bawah pasukan Majapahit.
Demikian juga keraton dengan semua didalamnya bisa terkuasai sebab kecerdikan dan strategi peperangan dari Gajah Mada pada Ki Pasung Grigis.
Tersebut sekarang Ki Pasung Grigis dan beberapa bawahannya menghamba di Wilwakita, sesudah Bali bisa ditaklukan oleh Patih Gajah Mada dan beberapa Arya seperti dikisahkan dalam Riwayat Bali Kuna 1343. Beliau disitu bukan seperti orang tahanan, malah diberi lokasi yang pantas sebab akan diutus untuk melawan Raja Deldela Nata di Sumbawa. Bekas Patih Bedahulu yang paling sakti ini bersedia akan membunuh Raja Deldela Nata, hingga kalah jadi daerah Majapahit.
Dalam satu waktu yang sudah dipastikan, karena itu berangkatlah Ki Pasung Grigis dan laskar Bali ke arah Pulau Sumbawa. Tidak dikisahkan diperjalanan, karena itu sampai juga Ki Pasung Grigis di Sumbawa dan perang juga kacau.
Banyak laskar yang wafat dari kedua pihak. Pada akhirnya perang tanding di antara Raja Deldela Nata dengan Ki Pasung Grigis juga diawali. Oleh sebab perang itu sama memercayakan kemahiran pengetahuan bela diri dan kebal, karena itu perang juga berjalan benar-benar lama. Mereka sama-sama tusuk, sama-sama babat, tetapi ke-2 nya tidak ada yang terluka atau tergesek sedikit juga.
Sesudah lama berperang, telah pasti pernah saja terkena tusuk dalam satu sisi yang disebut kekurangan dari tiap-tiap faksi. Seperti sudah ditakdirkan oleh Tuhan, karena itu mereka sama terkena tusuk di bagian yang disebut kekurangan semasing.
Dengan begitu, ke-2 nya lalu meninggal dunia dan ambruk ke tanah. Sesudah pimpinan mereka luruh, karena itu laskar Bali kembali pada Majapahit untuk memberikan laporan jika perang di antara Ki Pasung Grigis dengan Raja Deldela Nata berakhir draw, sama wafat. Untuk menghindar kekosongan pemerintah di Bali dan Sumbawa, karena itu Raja Majapahit memberikan tugas 3 orang putra Mpu Kepakisan untuk memerintah di Pasuruan, Bali, dan Sumbawa. Di Bali, pemerintah diberikan ke putra bungsu yang bertitel Sri Kresna Kepakisan selaku raja di Bali.