PURA DALEM SIDAKARYA
PURA DALEM SIDAKARYA
Di daerah Dusun Sidakarya, Denpasar, ada satu pura selaku tempat umat Hindu nunas Tirta Penyida Kreasi. Pura itu diberi nama Pura Mutering Jagat Dalam Sidakarya. Pura ini terkait dengan perjalanan Brahmana Keling ke Bali yang pada akhirnya dikasih gelar Dalam Sidakarya oleh Raja Bali Dalam Waturenggong.
Pujawali di pura ini berjalan tiap enam bulan sekali, bersamaan dengan Tumpek Landep.
Pura Mutering Jagat Dalam Sidakarya ada di Dusun Sidakarya, Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar yang dulunya adalah daerah Kabupaten Badung. Daerah pesisir selatan ini dahulunya kerap disebutkan Pandanda Negara. Menurut penopang Pura di tempat, Drs. Ketut Yadnya, dalam melakukan Panca Yadnya, umat Hindu biasanya nunas tirtha pemuput kreasi di Pura Mutering Jagat Dalam Sidakarya. Di Pura ini ada beberapa palinggih yaitu palinggih Pemayun Agung, pengayatan Pura Besakih dan Gunung Agung, Manik Geni, penghayatan Pura Lempuyang, Pemayun Toya, pengayatan Pura Batur, Pemayun Cakra, pengayatan Pura Batukaru, Pemayun Ngurah Agung, pengayatan ke Pura Uluwatu dan Pemayun Putra, pengayatan Pura Sakenan. Disamping itu pengayatan Pura Sad Kahyangan, di Pura ini ada Parahyangan Jagat Natha. Dari sisi Gedong selaku stana Ida Batara Dalam Sidakarya.
Dengan terkonsentrasinya pelinggih pengayatan Sad Kahyangan jadi satu di Pura ini, dan disempurnakan adanya palinggih Jagat Natha, karena itu Pura ini dinamakan Pura Mutering Jagat Dalam Sidakarya.
Hal sama disebut dalam Babad Sidakarya yang diatur I Nyoman Kantun, S.
H., M.H. dan Drs. I Ketut Yadnya. Saat itu dalam buku yang dicatat Panitia Kreasi Mamungkah, Ngenteg Linggih Pedudusan Agung, Ngusaba Dusun lan Ngusaba Nini Pura Mutering Jagat Dalam Sidakarya, tertanggal 4 Maret 2006, disebut Pura ini sebelumnya adalah tempat berstananya Brahmana Keling. Karena layanan beliau bisa kembalikan laknat pastunya–menjadikan jagat Bali kembali lagi gaungh ripah loh jinawi, hingga Kreasi Eka Dasa Rudra di Pura Besakih bisa berjalan berhasil (sidakarya) sama keinginan Dalam Waturenggong dan warga. Atas landasan itu Brahmana Keling dianugerahi gelar Dalam Sidakarya.
Dalam Babad Sidakarya yang diatur Nyoman Kantun, S.H., M.H. dan Drs. Ketut Yadnya disebut, Brahmana Keling adalah panggilan pendeta yang paling termasyur mengenai kebenaran khusus yang memiliki pengetahuan kelepasan jiwa. Disebutkan Brahmana Keling sebab beliau berawal dari wilayah Keling, Jawa Timur. Brahmana Keling ialah putra Dang Hyang Kayumanis, cucu dari Mpu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Mpu Beradah. Hingga saat ini tidak ada yang mengetahui nama asli Brahmana Keling. Sebab berawal dari Keling karena itu beliau disebutkan Brahmana Keling.
Dikisahkan Di satu dusun yang namanya Keling ada pendeta yang paling paling mahsyur mengenai kebenaran khusus yang memiliki "Pengetahuan Kelepasan Jiwa". Disebutkan Brahmana Keling sebab beliau berawal dari Wilayah Keling, Jawa Timur. Beliau membangun pesraman/pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling ialah putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Empu Beradah.
Dalam Perjalanan beliau dari tanah Jawa ke Bali sampai juga beliau di satu Dusun pesisir pantai yakni Dusun Muncar. Di sini beliau sesaat istirahat sekalian nikmati keelokan pemandangan selat
Bali, Tiada diakui awalnya di depan beliau mendadak tampil ayahnya (Dang Hyang Kayumanis). Si Ayah menceritakan panjang mengenai kehadirannya di Nusa Bali, jika di Bali saat ini di Kerajaan Gelgel sebagai Raja ialah Dalam Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha yang mengikuti Dalam Waturenggong selaku penasehat dalam sektor keagamaan (kerohanian) yang akan melakukan Upacara (Kreasi Eka Dasa Rudra di Pura Besakih).
Dengar Si Ayah menceritakan begitu, lalu tatap muka Dang Hyang Kayumanis dengan anaknya Brahmana Keling di Dusun Muncar telah usai sekalian adalah tatap muka yang paling akhir. Si Ayah meneruskan perjalanan ke arah Pesraman di Jawa Timur (Wilayah Keling) sedang Brahmana Keling seterusnya ke arah pulau Bali ke arah Kerajaan Gelgel.
Singkat Narasi sampai juga Brahmana Keling di Kerajaan Gelgel. sesampainya Brahmana Keling di Gelgel Keraton pada kondisi sepi, beliau lalu diterima oleh beberapa pemuka warga yang berada di Keraton.
Dengan performa yang lusuh dan kumel brahmana menjelaskan pengin berjumpa dengan saudaranya yang tidak lain ialah Dalam Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha.Tetapi warga yang ada dikeraton sampaikan jika Dalam Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha ada di Pura Besakih. Pada akhirnya Bramana Keling Pergi Ke Pura Besakih.sesampainya disitu Brahmana Keling menjawab sama, jika beliau pengin menjumpai saudaranya Dalam Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha yang ucapnya sedang berada di Pura. Warga barusan juga tidak berani menghadap Dalam sebab dia berasumsi jika orang yang tiba pada kondisi ini mustahil saudara Si Prabu atau Dang Hyang Nirartha, bahkan juga warga benar-benar tersinggung dengan pernyataan si Brahmana ini yang mengaku-ngaku bersaudara dengan Dalam junjungannya.Tapi Brahmana Keling bersikukuh dan sebab satu karena rakyat tidak bisa menghadanginya, dan tidak ada yang menyaksikan beliau ke arah dalam. Pada akhirnya kemungkinan sebab karena sangat payahnya beliau diperjalanan panjang Brahmana Keling langsung ke arah Pelinggih Surya Chandra, di atas sanalah beliau duduk berstirahat sesaat, untuk melepaskan penatnya.Peristiwa Itu juga dilihat Oleh Dalam Waturenggong dan beliau murka sebab orang itu berani duduk di pelinggih Surya Chandra.Beberapa prajurit juga memberikan laporan apa yang berlangsung awalnya pada Dalam Waturenggong.
Dengar apa yang disampaikan oleh beberapa prajurit dan beberapa pengayah, makin bertambah murkanya Si Prabu, saat itu dengan suara yang bergetar keras memerintah beberapa prajurit, pengayah dan rakyat untuk selekasnya menggeret keluar orang yang diduga edan itu. Langsung prajurit dan warga menyingkirkan Brahmana Keling dengan suara sorak sorai, sebab karena sangat mulianya hati Brahmana Keling karena benar-benar beliau tidak melangsungkan perlawanan apa-apa pada akhirnya beliau mengalah sebab perintah keras Si Prabu yang tidak mengaku kembali selaku saudara.
Saat sebelum Brahmana Keling tinggalkan Pura Besakih di saat pengusiran dianya Beliau lalu menyampaikan Laknat Pastu yang didalamnya : "Wastu tats astu kreasi yang dikerjakan di Pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bumi kekeringan, rakyat kegeringan (terserang pandemi penyakit), sarwa gumatat-gumitit (binatang-binatang kecil / hama) membuat keruntuhan (ngrubeda) di seluruhjagat (bumi) Bali ". Demikian suara Brahmana Keling keluar seperti halilintar menyikat di Siang bolong seluruh warga melihat dengan menganga, terdiam tidak berkutit sedikitpun, lalu Brahmana Keling tinggalkan pura Besakih ke arah Barat Daya.
Tidak berlalu lama, laknat itu bisa dibuktikan. Pada akhirnya Pulau Bali terserang pandemi dan hama. Terkait dengan musibah ini, Dang Hyang Nirartha menghaturkan upakara untuk meminta keselamatan, tetapi permintaan ini gagal.
Dalam satu malam, Dalam Waturenggong bersemadi di Pura Besakih dan memperoleh panduan Ida Batara jika beliau sudah berdosa menyingkirkan saudara sendirinya. Untuk kembalikan kondisi sebelumnya, cuman Brahmana Keling yang sanggup melakukan.
Selanjutnya Dalam Waturenggong mengutus rakyatnya cari Brahmana Keling sampai bertemu. Berangkatlah kelompok penjemput Brahama Keling untuk dimohon siap menjumpai Dalam Waturenggong. pada akhirnya Brahmana Keling ditemui di Bandanda Negara yang saat ini disebutkan Dusun Sidakarya di mana Pura Mutering Jagat Sidakarya ada. Brahmana Keling siap kembalikan kondisi seperti yang lalu.
Dalam Waturenggong di depan beberapa menteri/patih/pre arya, Dang Hyang Nirarta dan Dalam Sidakarya bersabda: Sejak saat ini dan selajutnya, untuk tiap umat Hindu melakukan kreasi harus nunas tirta penyida kreasi, agar kreasi jadi sidakarya. Untuk kenang kembali layanan Dalam Sidakarya selanjutnya dan untuk ada parahyangan tempat nunas tirta sidakarya untuk umat Hindu, seputar tahun 1518 M Dalam Waturenggong memerintah supaya membangun Pura Dalam Sidakarya.
Setelah tiba Brahmana Keling di Pura Besakih, Dalam Waturenggong meminta belas kasihannya supaya Pulau Bali dibalikkan seperti sebelumnya, tidak ada musibah dan hama. Begitupun kreasi atau upacara agama bisa berjalan secara baik, dengan janji akan terima Brahmana Keling selaku saudara.
Brahmana Keling lalu meminta kesaksian yang benarkan semua yang disampaikan misalkan ayam hitam disebutkan putih karena itu ayam hitam jadi betul-betul putih, pohon kelapa yang semula tidak berbuah disebutkan berbuah karena itu betul-betul berbuah. Hama dan pandemi juga saat itu juga musnah hingga upacara atau kreasi yang dikerjakan itu bisa diteruskan dan berjalan dengan sidakarya atau berhasil.
Sesudah seluruh kondisi bisa dibalikkan sesuai yang diinginkan, karena itu Dalam Waturenggong mengaku Brahmana Keling selaku saudaranya yang dikasih gelar Brahmana Sidakarya atau Dalam Sidakarya. Ini berlangsung di tahun 1615 €aka.
Dalam Waturenggong di depan beberapa menteri/patih/pre arya, Dang Hyang Nirarta dan Dalam Sidakarya bersabda: Sejak saat ini dan selajutnya, untuk tiap umat Hindu melakukan kreasi harus nunas tirta penyida kreasi, agar kreasi jadi sidakarya. Untuk kenang kembali layanan Dalam Sidakarya selanjutnya dan untuk ada parahyangan tempat nunas tirta sidakarya untuk umat Hindu, seputar tahun 1518 M Dalam Waturenggong memerintah supaya membangun Pura Dalam Sidakarya.
Mulai waktu itu Dalam Waturenggong memerintah semua rakyat Bali, untuk kesuksesannya kreasi atau upacara yang akan dikerjakan, supaya meminta jatu kreasi ke Pura Dalam Sidakarya tempat Brahmana Sidakarya). Selain itu, pada tiap upacara keagamaan agar diselenggarakan atraksi Kedok Sidakarya — menghaturkan wali Sidakarya — selaku pendamping upacara penting umat Hindu.
Penghormatan untuk Dalam Sidakarya
Selaku penghormatan dan masa lalu dari kejadian di atas, seterusnya dari ke-3 figur penting dalam pemerintah Dalam Waturenggong yakni Dalam Waturenggong sendiri, Dang Hyang Nirartha, dan Dalam Sidakarya, pada akhirnya Dalam Waturenggong memerintah Pasek Akeluddadah untuk pertama kali membuat tapel atau kedok yang memvisualisasikan Si Tiga Sakti atau ke-3 figur yang berperanan penting dalam pemerintah Dalam Waturenggong. Menurut orang yang menulis buku ini, Akeluddadah berasal dari 2 kata yakni Akelud yang bermakna penyucian atau pembersihan(pemarisudha) dan Dadah yang bermakna air atau air suci (tirta). Jadi Akeluddadah bermakna tirta pemarisudha atau penyucian semua wujud mala atau kotoran yang dilambangkan dengan kedok yang dipentaskan selaku tarian sacral pada suatu penerapan upacara Yadnya. Sebab I Pasek ini berjasa dalam membuat kedok Akeluddadah, karena itu beliau disebutkan dengan Pasek Akeluddadah. Tetapi kedok yang dibikin oleh Pasek Akeluddadah belum tahu kehadirannya
Untuk kesempurnaan upacara Yadnya, selaku penutup serangkaian upacara dipentaskan Tari Kedok Sidakarya yang dalam pentasnya bisa ditampilkan dengan seorang diri (memajeg) atau ditarikan oleh lebih satu orang bergantung kondisi. Dalam Tari Kedok Sidakarya, figur penting yang diperlihatkan ialah Figur Dang Hyang Nirartha selaku Pendeta, Dalam Waturenggong selaku Penguasa/Raja dan Dalam Sidakarya yang dikatakan sebagai Si Tiga Sakti.
Tentang hal ciri-ciri – ciri-ciri dari kedok Sidakarya ialah warna putih, bermata sipit, giginya cukup maju (jongos), wajahnya 1/2 manusia dan 1/2 demanik, memiliki rambut sebahu, menggunakan kudung yang dirajah, dan penarinya umumnya bawa bokoran berisi canang sari, dupa, beras kuning, sekar ura, dan lain-lain selaku symbol kedarmawanan.
Penari kedok sidakarya lalu menari dangkrak – dingkrik dan diteruskan dengan tangkap pemirsa yang anak – anak lalu diberi uang kepeng yang berarti lebih kurang selaku perwujudan menyembuhkan orang sakit dan memberi kesejahteraan pada seseorang. Ini adalah simbolis transisi kehidupan yakni lahir, kecil, muda, tua, mati. Kemudian penari menyampaikan (ngucarang) mantra yang didalamnya:
"Dadia punang ikang kalan nira, mijil Dalam Sidakarya, kadi gelap dumereping randu raja menala, gumeter ikang pretiwi apah teja bayu akasa, lintang tranggana ketekeng surya senjana metu saya karena sangat Mutering Jagat Sudha butha saat liak, desti santet trangjana pada nembah tanwani tanda tangan saya, apan saya mawak pemarisudha jagat. Sakuwehing mala, lara, roga, wigena pada geseng. Ong, Si, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang."
Sesudah nguncarang mantra itu diteruskan dengan menaburkan beras kuning yang menyimbulkan pemberian keuntungan ke beberapa Butha Saat agar tidak mengusik ketentraman hidup manusia, dan menyebarkan kesejahteraan pada umat manusia hingga diwujudkan rahayuning jagat. Dan diimbangi dengan penyebaran sekar ura yang disebut symbol medana – dana (bersedekah). Dengan selesainya pertunjukan Kedok Sidakarya karena itu tuntaslah semua serangkaian penerapan upacara Yadnya yang disebutkan "Sidakarya".