Sejarah Dalem Sidakarya
Pada sebuah dusun/wilayah yang namanya Keling ada pendeta yang paling paling mahsyur mengenai kebenaran khusus yang memiliki "Pengetahuan Kelepasan Jiwa". Disebutkan Brahmana Keling karena beliau datang dari Wilayah Keling, Jawa Timur. Beliau membangun pesraman/pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling ialah putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Empu Beradah. Tapi hingga saat ini tidak ada yang mengetahui nama beliau yang sebetulnya, karena beliau datang dari Keling karena itu beliau disebutkan "Brahmana Keling".
Dalam Perjalanan beliau dari tanah Jawa ke Bali sampai juga beliau pada sebuah Dusun pesisir pantai yakni Dusun Muncar. Di sini beliau sesaat istirahat sekalian nikmati keelokan pemandangan selat Bali, yang menambat hati beliau akan keelokan alam laut dan pegunungan Pulau Bali. Tidak disangka awalnya di depan beliau mendadak ada ayahnya (Dang Hyang Kayumanis). Sang Ayah menceritakan panjang mengenai kehadirannya di Nusa Bali, jika di Bali saat ini di Kerajaan Gelgel sebagai Raja ialah Dalam Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha yang menemani Dalam Waturenggong sebagai penasehat dalam sektor keagamaan (kerohanian) yang hendak melakukan Upacara (Kreasi Eka Dasa Rudra di Pura Besakih).
Dengar Sang Ayah menceritakan begitu, lalu tatap muka Dang Hyang Kayumanis dengan anaknya Brahmana Keling di Dusun Muncar telah usai sekalian sebagai tatap muka yang paling akhir. Sang Ayah meneruskan perjalanan ke arah Pesraman di Jawa Timur (Wilayah Keling) dan Brahmana Keling seterusnya ke arah pulau Bali ke arah di Keraton Gelgel.
Mengenai perjalanan Brahmana Keling ke arah Bali berlanjut ke Keraton Gelgel tidak ada yang mengetahui apa beliau memakai apa ? Jejak-jejak perjalanan beliau di mana ? Ke mana ? dan lain-lain. Singkat kata sampai juga di Keraton Gelgel, tetapi sayang sesampai Brahmana Keling di Gelgel Keraton pada kondisi sepi, beliau lalu diterima oleh beberapa pemuka warga yang berada di Keraton.
Pada kondisi yang lemas, kusam dan baju yang serba kumel dan kotor Brahmana Keling menjawab, jika beliau berniat menjumpai saudaranya tidak lain ialah Sang Prabu Dalam Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Karena Sang Prabu Dalam Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha tidak berada di Keraton karena itu pemuka warga yang menegur itu mempersilakan Brahmana Keling ke arah Pura Besakih, karena Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha ada disitu sedang repot dengan beberapa pendampingnya menyiapkan penyediaan upacara (wali) Eka Dasa Rudra di Pura Besakih. Seterusnya Sang Brahmana melanjutkan perjalanan ke arah Pura Besakih. Sesampai di pekarangan pura, kembali beliau dipanggil oleh warga beberapa pengayang yang ada, di Pura.
Brahmana Keling menjawab sama, jika beliau ingin menjumpai saudaranya Dalam Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha yang ucapnya sedang berada di Pura. Warga barusan juga tidak berani menghadap Dalam karena dia berasumsi jika orang yang tiba pada kondisi ini mustahil saudara Sang Prabu atau Dang Hyang Nirartha, bahkan juga warga benar-benar tersinggung dengan pernyataan sang Brahmana ini yang mengaku-ngaku bersaudara dengan Dalam junjungannya seakan-akan derajat Sang Prabu dengan Dang Hyang Nirartha disetarakan dengan dianya yang pada kondisi compang-camping semestinya seorang pengemis.
Tapi Brahmana Keling bersikukuh dan karena satu akibat rakyat tidak bisa menghadanginya, dan tidak ada yang menyaksikan beliau ke arah ke dalam. Akhimya kemungkinan karena sangat payahnya beliau diperjalanan panjang Brahmana Keling langsung ke arah Pelinggih Surya Chandra, di atas sanalah beliau duduk berstirahat sesaat, untuk melepaskan penatnya.
Tidak berlalu beberapa lama hadirlah Sang Prabu Dalam Waturenggong, demikian beliau melihat ke atas Pelinggih Surya Chandra alangkah kagetnya hati beliau langsung dengan muka yang merah padam. Karena murkanya beliau langsung panggil prajurit untuk bertanya siapa kiranya orang itu yang sudah berani duduk di atas sana. Prajurit menjawab jika orang itu (Brahmana Keling) memang dari barusan dilarang masuk, terlebih dia akui sebagai saudara Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha yang paling ingin berjumpa dengan Sang Prabu. Tapi entahlah kenapa orang itu tidak diduganya telah berada di atas Pelinggih Surya Chandra, rakyat dan prajuritnya dan semuanya yang ada disitu benar-benar kaget dan keheranan.
Dengar apa yang disampaikan oleh beberapa prajurit dan beberapa pengayah, semakin bertambah murkanya Sang Prabu, saat itu dengan suara yang bergetar keras memerintah beberapa prajurit, pengayah dan rakyat untuk selekasnya menggeret keluar orang yang diduga edan itu. Langsung prajurit dan warga menyingkirkan Brahmana Keling dengan suara sorak sorai, karena sangat mulianya hati Brahmana Keling karena benar-benar beliau tidak melangsungkan perlawanan apapun pada akhirnya beliau mengalah karena perintah keras Sang Prabu yang tidak mengaku kembali sebagai saudara.
Saat sebelum Brahmana Keling tinggalkan Pura Besakih di saat pengusiran dianya Beliau lalu ucapkan Laknat Pastu yang didalamnya : "Wastu tats astu kreasi yang dikerjakan di Pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bumi kekeringan, rakyat kegeringan (terserang pandemi penyakit), sarwa gumatat-gumitit (binatang-binatang kecil / hama) membuat keruntuhan (ngrubeda) di seluruhjagat (bumi) Bali ". Demikian suara Brahmana Keling keluar seperti halilintar menyikat di Siang berlubang semua warga melihat dengan menganga, terdiam tidak berkutit sedikitpun, lalu Brahmana Keling tinggalkan pura Besakih ke arah Barat Daya.
Diperjalanan beliau dari Besakih ke arah Tubuhda Negara, semua tidak ada yang tabu secara sama seperti perjalanan petualang-petualang yang lain. Menurut prediksi penulis peluang Brahmana Keling ke arah satu tempat pada jalan mays (pengetahuan lenyap), karena sepanjang perjalanan beliau hingga saat ini belum terdapat bukti pertanda tempat pelabuhan atau tempat beristirahat dan dalam periode saat yang benar-benar singkat. Singkat kata sampai juga Brahmana Keling di Tubuhda Negara yakni di (Dusun Sidakarya saat ini) dan di sini Beliau membuat pesanggrahan pesraman seperti seperti seorang Brahmin. Makna sebenarnya Tubuhda Negara ialah : Tubuhda=Padanda=Pandan (pahon berduri), Negara=Wilayah. Di pesisir selatan kerajaan Badung banyak pohon pandan, jeruju dan semacamnya terhitung pohon bakau. Oleh karenanya wilayah pesisir ini wajar disebutkan Tubuhda Negara = Pandan Negara.
Seperginya Brahmana Keling dari Pura Besakih tidak berlalu sekian hari situasi sejagat Bali khususnya Kraton Gelgel dan sekelilingnya mulai memperlihatkan keadaan yang tidak mengenankan. Seperti perkataan Sang Brahmana, semua tanaman pohon pohonan yang bermanfaat untuk penerapan pendukung kreasi misalnya : kelapa, pisang, padi, sayur dan lain-lain semua layu, buah berjatuhan, pandemi / hama misalnya : ulat, tikus dan sebagainya makin banyak dan garang serang beberapa tanaman beberapa petani, bumi saat itu juga kering kerontang, pandemi penyakit menjalar serang warga kondisi benar-benar menakutkan (gerubug) di antara pengayah berkelahi tanpa ada alasan dan semua pada kondisi kacau.
Hingga agenda penerapan kreasi batal dikerjakan, karena tidak memungkinkannya untuk dilanjutkan. Menyaksikan realita semacam ini lalu Dang Hyang Nirartha diperintah oleh Ida Dalam lakukan upakara pemberantasan dengan lakukan tapa semadi pun tidak mempan serta makin menjadi-jadi, semua kondisi serba memilukan akhinya Ida Dalam sendirilah yang turun tangan, memerintah Dang Hyang Niratha, untuk membikin upakara lanjut melangsungkan tapa semadi.
Di suatu malam Dalam Waturenggong melangsungkan semadi di Pura Besakih. Beliau mendapatkan pewisik panduan dari Ida Betara yang bersthana di Pura Besakih, jika Beliau sudah berdosa menyingkirkan saudaranya sendiri secara nista dan untuk kembalikan kondisi seperti yang lalu cuman Brahmana Kelinglah yang sanggup lakukan hal tersebut.
Sesudah memperoleh panduan (pawisik), keesokannya langsung Ida Dalam panggil Pertama Mentrinya Arya Kepakisan (Gusti Agung Petandakan) dan panggil beberapa Patih yang lain seperti Arya Pengalasan, Arya Ularan dan sebagainya terhitung beberapa punggawa untuk melangsungkan sidang. Dalam sidang tanpa jadwal itu putuskan supaya secepat-cepatnya jemput Brahmana Keling yang sempat diusinya. Karena beliaulah yang bisa kembalikan keadaan kekeringan semacam ini dan beliau saat ini berada di Tubuhda Negara (Pandan-Negara) di pesisir selatan Kadipaten Badung. Di saat itu sebagai Raja (anglurah) Badung ialah I Gusti Tegeh Kori (Dinasti Tegeh Kori). Tetapi di sini tidak dikenali dengan jelas siapakah senapati yang diutus jemput Brahmana Keling ?.
Singkat kata berangkatlah kelompok penjemput Brahmana Keling ke Tubuhda Negara, pertama kali ke arah Keraton Tegeh Kori di Badung untuk minta panduan selanjutnya pada akhirnya ke arah Tubuhda Negara (Pesisir Selatan Kerajaan Badung = Sidakarya saat ini). Sesampai kelompok di Tubuhda Negara berjumpalah dengan Brahmana Keling lalu kelompok menghaturkan sembah sujud minta ampun sekalian bercerita mengenai tujuan kehadirannya menghadap Sang Brahmana. Sesuai perintah Ida Dalam meminta supaya Ida Brahmana Keling siap tiba kehadapan Dalam Waturenggong selekasnya mungkin. Demikian dengar narasi dan permintaan utusan Dalam Waturenggong, Ida Brahmana Keling telah pahami dan menyikapi semua, seterusnya mempersilakan ke utusan kelompok Dalam selekasnya pergi lebih dulu, Brahmana Keling akan susul.
Perjalanan kembali Brahmana Keling ke Puri Gelgel lanjut Basakih tidak ada yang mengetahui. Beliau telah ada lebih dulu dengan kelompok penjemputnya di depan Dalam Waturenggong di Pura Besakih. Setelah tiba Brahmana Keling di Pura Besakih baru beliau disongsong semestinya tamu kebesaran dan diberlakukan dengan benar-benar santun hormat dan ramah.
Dalam pembicaraan beliau berdua yang dilihat oleh Dang Hyang Nirartha, pada intinya jika jika Brahmana Keling sanggup kembalikan kekeringan, kegeringan, keamanan dan kenyamanan jagat Bali seperti yang lalu karena itu Dalam Waturenggong janji dan siap mengaku memang betul Brahmana Keling saudara Dalam Waturenggong. Dengar sabda Ida Dalam sebegitu Brahmana Keling dengan suka hati menerimanya, saat itu juga tanpa prasarana, sesajen apa saja beliau sunyi sesaat ucapkan mantra-mantra dan dengan kemampuan batin yang mengagumkan terbuktilah: - Ayam hitam disebutkan putih, betul-betul jadi putih.
- Kelapa yang kekeringan, layu tanpa buah saat itu juga beralih menjadi subur, hijau dan dengan buah yang paling lebat, begitupun pisang yang kuning dan layu disebutkan hidup kembali dan berbuah rupanya betul.
- Hama tikus, walang sangit, wereng, ulat, dan lain-lain yang serang beberapa tumbuhan disebutkan musnah, langsung musnah saat itu juga.
- Bumi kering jadi subur.
- Warga rakyat kegeringan saat itu juga jadi sehat walafiat.
Apa yang disampaikan Brahmana Keling betul¬betul bisa dibuktikan hingga Ida Dalam, Danghyang Nirartha dan peserta semuanya yang melihat dengan penuh keheranan dan kagum, karena didepannya terjadi beberapa hal aneh yang mengagumkan. Akhinya di saat itu Dalam Waturenggong mengaku jika Brahmana Keling ialah saudaranya sendiri.
Penerapan kreasi di Pura Besakih, setelah keadaan itu, bisa dibalikkan seperti yang lalu serta kondisinya lebih bagus dari beberapa hari awalnya, hingga kreasi bisa diteruskan kembali. Kreasi di Pura Besakih di saat itu sebenarnya tingkat kreasi Eka Dasa Rudra yang dikerjakan Purnamaning Sasih Kedasa ± tahun Saka 1437 = 1515 Masehi (era ke-16). Pada penerapan kreasi Eka Dasa Rudra itu sekalian dipegang oleh Dang Hyang Nirartha dan Brahmana Keling. Karena awalnya Bali (kerajaan Gelgel) pernah merasakan kegeringan, karena itu di saat kreasi Eka Dasa Rudra dirangkaikan dengan kreasi Nangluk Menderita . Maka, di saat itu dikerjakan dua serangkaian kreasi dasar di Pura Besakih dan wajar disebutkan "Kreasi Nangluk Menderita".
Karena jasa Brahmana Keling yang sanggup membuat kesejahteraan alam lingkungan yang lebih bagus dari tahun ke tahun, hasil alam/bumi yang berlimpah ruah sebagai fasilitas prasarana kesuksesannya penerapan kreasi, hingga kreasi bisa jalan dengan aman, nyaman dan sukses / sukses sidakarya sesuai keinginan Ida Dalam Waturenggong. Oleh karena itu Brahmana Keling dianugrahi gelar Dalam. Sejak saat berikut Brahmana Keling mabiseka Dalam Sidakarya. Lanjut dibuatkan upacara pediksan seperti mestinya.
Karena sangat senangnya Ida Dalam karena kreasi yang dikerjakan benar-benar sukses (Sidakarya), selainnya gelar Dalam yang dianugrahkan, atas saran dan saran Dang Hyang Nirartha (selain itu karena mungkin, sabda Hyang Pramawisesa) Dalam Waturenggong di Pura Besakih di depan beberapa Menteri / Patih / Beberapa Arya di kanan kiri Dalam Waturenggong duduk Dang Hyang Nirartha dan Dalam Sidakarya, bersabda : - Sejak saat ini dan seterusnya untuk tiap umat Hindu di semua jagat yang melakukan kreasi harus (wenang) nunas tirta Penyida Kreasi yang berada di Pesraman Dalam Sidakarya, agar kreasi jadi Sidakarya (Pemuput karya), yang berada di pesisir selatan Jagat Badung (= di Dusun Sidakarya saat ini).
- Pada tiap upakara harus ditebarkan fasilitas serba sidakarya misalnya : Sayut Sidakarya untuk dibanten (sesajen) dan jejaitan, Tipat Sidakarya untuk boga (makanan / kesejahteraan), Kedok Sidakarya untuk wali (kesesuaian).Maksudnya agar semua pendukung penerapan kreasi serba sidakarya = sukses.
- Untuk sempurnanya penerapan kreasi harus menggelar Wali Kedok Sidakarya. (Tirta Sidakarya seharusnya disertai Kedok Sidakarya dari Sidakarya).
- Harus nunas Catur Bija dan Panca Taru Sidakarya. Itu kurang lebih isi sabda Dalam Waturenggong di saat itu yang sampai saat ini dan sebagainya harus dipatuhi oleh umat Hindu sejagat.
Catatan Catur Bija tujuannya ialah : - Beras : sebagai jatu pada makanan / boga (untuk kesejahteraan beberapa eksekutor kreasi).
- Ketan : sebagai jatu pada membuat jaja (jajan) uli barak-uli putih (begina dan sebagainya).
- Beras merah : sebagai jatu untuk membikin bubur bebanten untuk serba tumbuh2an.
- Injin: sebagai jatu pembikinan tetandingan sarwa banten untuk caru dan sebagainya.
Keseluruhnya itu pada umumnya (Catur Bija) dipakai untuk penginih-nginih kreasi dan pengingsahan kreasi, sebagai ajengan catur dalam aktivitas yadnya. Jatu ini saat sebelum dipakai ditempatkan di penetegan beras.
Panca Taru bukan diartikan kayu spesial tetapi misalnya : Cempaka dan Sandat, ke-2 kayu ini sebagai simbolik jatu untuk wewangunan suci namun serpihannya (tampalan) Bering dipakai sebagai jatu api pasepan. - Naga sari untuk jatu sebagai pendamping tetandingan bebanten.
- Dadap untuk petunjuk tirta, berisi benang tukel, andel-andel uang kepeng.
- Kelapa (kloping, danyuh, paang, daun kelapa muda/busung) sebagai jatu alat untuk masak - mengolah di dapur (pewaregan), pengesengan sekah dan pengesengan penimpugan.
- Janur / Busung untuk jatu sarwa jejaitan.
Beberapa kayu saat ini langka tapi apa saja yang bisa diterima dari pura itu ia sebagai jatu panca taru dari Sidakarya.