Notifikasi

Memuat…

Makna Hari Raya Galungan Dan Prosesinya Yang Benar

Hari raya Galungan jatuh di hari Budha Kliwon Dunggulan, dan diperingati tiap 6 bulan atau 210 hari. Rupanya Hari Raya Galungan ini dirayakan sebagai
Makna Hari Raya Galungan Dan Prosesinya Yang Benar

 Hari raya Galungan
jatuh di hari Budha Kliwon Dunggulan, dan diperingati tiap 6 bulan atau 210 hari. Rupanya Hari Raya Galungan ini dirayakan sebagai hari pawedalan jagat atau kerap disebutkan oton gumi. Dan nilai yang tersurat di hari raya galungan ialah "kemenangan dharma menantang adharma".

Di Negara penganut Hindu paling besar seperti India perayaan hari kemenangan disebutkan Sradha Wijaya Dasami. Dalam Kitab Ramayana ini digambarkan pertarungan sepuluh hari di antara Rama dan Rahwana, lalu kemenangan ada pada pihak Rama (dharma). Di Bali-Indonesia perayaan kemenangan dharma dilaksanakan dengan rayakan hari raya Galungan dan Kuningan.

Dalam Mitologi yang terkait dengan hari raya galungan ialah peperangan di antara Maya Denawa dan Bhatara Indra. Untuk perayaan Hari Raya Suci Galungan dan kuningan ini memiliki jarak sepuluh hari, tetapi sebagai rangkaiannya diawali semenjak Tumpek Wariga sampai Budha Kliwon Pahang, yakni seperti berikut:

A. Tumpek wariga

Tumpek Wariga disebut juga Tumpek Bubuh, pada hari ini umat memohon kehadapan Sang Hyang Sangkara, Dewanya tumbuh tumbuhan agar Beliau menganugrahkan supaya hasil pertanian meningkat.

B. Wrespati wage sungsang

Wrespati Wage Sungsang adalah hari Sugihan Jawa merupakan pensucian bhuwana agung dilaksanakan dengan menghaturkan pesucian mererebu di Merajan, pekarangan, rumah serta menyucikan alat-alat untuk hari raya Galungan.

C. Sukra kliwon sungsang

Sukra Kliwon Sungsang disebut hari Sugihan Bali, pada hari ini kita melaksanakan penyucian bhuwana alit, mengheningkan pikiran agar hening, heneng dan metirta gocara.

D. Pada wuku dunggulan

1. Redite Paing Dungulan

Redite Paing Dungulan disebut penyekeban. Pada hari ini adalah hari turunnya Sang Kala Tiga Wisesa, berwujud Bhuta Galungan, maka pada hari ini para wiku dan widnyana meningkatkan pengendalian diri (anyekung adnyana).

2. Soma Pon Dungulan

Soma Pon Dungulan disebut penyajaan pada hari ini tetap menguji keteguhan sebagai bukti kesungguhan melakukan peningkatan kesucian diri seperti yoga semadi.

3. Anggara Wage Dungulan

Anggara Wage Dungulan disebut penampahan melakukan Abhuta Yadnya ring Catur pate atau lebuh di halaman rumah, serta memberi pasupati pada senjata-senjata. Maksudnya agar tidak diganggu Sang Kala Tiga Wisesa.

4. Budha Kliwon Dungulan

Ternyata Budha Kliwon Dungulan juga disebut Hari Raya Galungan umat Hindu melakukan yajna kepada Sang Hyang Widhi, Dewa, Pitara, termasuk semua alat-alat yang telah membantu kehidupan manusia apakah alat-alat pertanian, industry, ketrampilan, dan lain-lain.

5. Wrespati Umanis Dungulan

Dan Setelah Galungan, Wrespati Umanis Dungulan disebut Manis Galungan umat saling kunjung-mengunjungi dan maaf-memaafkan.

6. Saniscara Pon Dungulan

Saniscara Pon Dungulan disebut Pemaridan Guru pada hari ini umat melaksanakan tirta gocara.

7. Redite Wage Kuningan

Redite Wage Kuningan disebut Ulihan, kembalinya Dewa dan Pitara kekahyangan.

8. Soma Kliwon Kuningan

Soma Kliwon Kuningan disebut Pemacekan Agung, Dewa beserta pengiringnya kembali dan sampai ketempat masing-masing.

9. Sukra Wage Kuningan

Sukra Wage Kuningan disebut Penampahan Kuningan adalah persiapan untuk menyambut hari Raya Kuningan.

10. Saniscara Kliwon Kuningan

Saniscara Kliwon Kuningan hari Raya Kuningan, pada hari ini umat Hindu memuja Tuhan dengan segala manifestasinya.

Upacara menghaturkan saji hendaknya dilaksanakan jangan sampai lewat tengah hari, mengapa? Sebab pada tengah hari ini para Dewata diceritakan kembali ke swarga. Pemaangan tamyang, kolom, andongan adalah symbol senjata dan perbekalan untuk menunjukan kemenangan Dharma melawan Adharma.

Persembahan berupa nasi kuning juga disebut sebagai tebog dengan hiasan serba kuning adalah symbol bhakti lawansih yakni bhaktinya umat menjadi padu dengan sih-Nya Beliau Sang Pencipta.

11. Buda Kliwon Pahang

Buda Kliwon Pahang disebut Pegat Uwakan atau Pegat Waraha akhir dari pada melakukan peberatan Galungan sebagai pewarah Dewi Durga kepada Sri Jaya Kasunu ditandai dengan mencabut penjor kemudian dibakar, abunya dimasukkan kedalam bungkak gading ditanam di pekarangan.(Karmini, Ni Wayan.dkk.2003.63-64).

Macam – Macam Galungan

  1. Galungan Isi dari lontar Sundarigama ialah disebutkan pada Buda Kliwon wuku Dungulan disebut hari raya Galungan.
  2.  Galungan Nadi Apabila Galungan jatuh pada bulan Purnama disebut Galungan Nadi, umat Hindu melaksanakan tingkatan upacara yang lebih utama. Berdasarkan dari Lontar Purana Bali Dwipa bahwa Hari Raya Galungan jatuh pada sasih kapat (kartika)  pada tanggal 15 (purnama) ditahun 804 saka Bali bagaikan lndra Loka ini menandakan betapa meriahnya dan sucinya hari raya itu. Saat hari raya galungan di setiap nadi penjor disertai juga dengan pemasangan lampu dan dinyalakan.
  3.  Galungan Naramangsa. Ternyata didalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala juga berisi sama mengenai Hari Raya Galungan Naramangsa disebutkan apabila Galungan jatuh pada Tilem Kapitu dan sasih Kasanga rah 9, tengek 9, tidak dibenarkan merayakan hari raya Galungan dan menghaturkan sesajen berisi tumpeng seyogyanya umat mengadakan caru berisi nasi cacahan dicampur ubi keladi, bila melanggar akan diserbu oleh Balagadabah.

PENJOR

Di kutip dari www.parisada.org, Definisi Penjor menurut I.B. yaitu Putu Sudarsana dimana Kata Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang dapat diberikan arti sebagai, “Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian kehilangan huruf sengau, “Ny” menjadilah kata benda sehingga menjadi kata, “Penyor” yang mengandung maksud dan pengertian, ”Sebagai Sarana Untuk Melaksanakan Pengastawa”. Para Umat Hindu di Bali pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor.

Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan yang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma. Seharusnya Penjor dipasang atau ditancapkan pada lebuh didepan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Jika rumah menghadap ke utara maka penjor ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan.

Bahan untuk membuat Penjor Galungan adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa).

Perlengkapan penjor ialah Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya.

Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.

Tujuan pemasangan penjor adalah sebagai swadharma umat Hindu untuk mewujudkan rasa bakti dan berterima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa.

Penjor juga sebagai tanda terima kasih manusia atas kemakmuran yang dilimpahkan Ida Sang Hyang Widi Wasa.

Bambu tinggi melengkung adalah gambaran dari gunung yang tertinggi sebagai tempat yang suci.
Hiasan yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, padi, jajan dan kain adalah merupakan wakil-wakil dari seluruh tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikarunia oleh Hyang Widhi Wasa.

Penjor Galungan adalah penjor yang bersifat relegius, yaitu mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan, dan wajib dibuat lengkap dengan perlengkapan-perlengkapannya.

Dilihat dari segi bentuk penjor merupakan lambang Pertiwi dengan segala hasilnya, yang memberikan kehidupan dan keselamatan. Pertiwi atau tanah digambarkan sebagai dua ekor naga yaitu Naga Basuki dan Ananta bhoga.

Selain itu juga, penjor merupakan simbol gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Hiasan-hiasan adalah merupakan bejenis-jenis daun seperti daun cemara, andong, paku pipid, pakis aji dll.

Untuk buah-buahan mempergunakan padi, jagung, kelapa, ketela, pisang termasuk pala bungkah, pala wija dan pala gantung, serta dilengkapi dengan jajan, tebu dan uang.
Oleh karena itu, membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidak asal membuat saja, namun seharusnya penjor tersebut sesuai dengan ketentuan Sastra Agama, sehingga tidak berkesan hiasan saja. 

Sesungguhnya bahwa unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga mencerminkan adanya nilai-nilai etika Agama. Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:

  •  Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
  •  Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma. 
  • Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra. 
  • Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa. 
  • Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
  • Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
  • Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu. 
  • Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa. 
  • Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.

Didalam Lontar “Tutur Dewi Tapini, Lamp. 26”, menyebutkan sebagai berikut : “Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha, Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara Meraga Phalem, Hyang Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan, Hyang Mahesora Meraga Biting (IB. PT. Sudarsana, 61; 03) WHD No. 478 Nopember 2006
Baca Juga
Posting Komentar